IMPLIKASI
KONSEP INSÂN
KÂMIL DALAM
PENDIDIKAN
UMUM
DI PONDOK SUFI PONDOK MODERN
SUMBER
DAYA AT-TAQWA
RINGKASAN
DISERTASI
Diajukan
untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk
Memperoleh
Gelar Doktor Ilmu Pendidikan
dalam
Bidang Pendidikan Umum/Nilai
Promovendus:
Munawar
Rahmat
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN UMUM/NILAI
SEKOLAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2010
ABSTRAK
Pendidikan
merupakan proses memanusiakan-manusia. Insân
kâmil (manusia
sempurna) merupakan model manusia ideal yang dikehendaki oleh Islam.
Studi terdahulu sudah banyak yang mengungkap konsep ini, tapi lebih
merupakan sebuah wacana yang sulit diimplikasikan ke dalam
pendidikan. Dengan menggunakan paradigma kualitatif, disertasi ini
menggali konsep insân
kâmil perspektif
Ilmu Syaththariah di
Pondok Sufi POMOSDA
dan
implikasinya terhadap pendidikan umum. Adapun pendekatan yang
digunakan adalah studi kasus, grounded
theory,
social
hermeuneutic,
dan metode tafsir (Tafsir Wasithah dan Al-Qarafi), dengan responden
KH Muhammad Munawwar Afandi, Guru Wasithah Syaththariah ke-48 sebagai
elite
respondent.
Studi
ini menemukan dua hal: Pertama,
Guru Wasithah mengharuskan manusia bersifat jabbari-aktif,
yakni harus selalu bergantung kepada Tuhan dan pasrah bongkokan
kepada Guru Wasithah, bagai malaikat muqorrobûn
kal
mayyiti baena yadil ghosili
(seperti mayat yang rela disucikan oleh orang yang berhak
memandikannya), yakni selalu bersungguh-sungguh
menjalankan
Dawuh Guru. Insân
kâmil adalah
hamba Allah yang telah ditarik oleh fadlol
(karunia) dan rahmatNya, karena kesungguhannya dalam menjalankan
Islam kâffâh,
yakni menggabungkan syare’at dan hakekat dengan bimbingan Guru
Wasithah hingga mencapai fana`
Dzat. Pada hirarki tujuh tangga nafsu, insân
kâmil merupakan
hamba Allah yang telah
mencapai tangga nafsu tertinggi (nafsu
kamilah)
sebagai buah dari kesungguhannya dalam menjalankan Dawuh Guru.
Kedua,
proses untuk mencapai martabat insân
kâmil melalui
enam tahapan, yakni: meminta di-bai’at
atau di-talqin
zikir kepada Guru, setia dengan sumpah dan janji, menjalankan lakon
(ibadah) dan pitukon
(amal sosial) sesuai Dawuh Guru (disertai hati, roh, dan rasa yang
selalu mengingat-ingat Zat Tuhan Yang Al-Ghaib), menjalankan 10 dasar
agama (taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal
`alallah,
mulazimatu
dzikr,
tawajjuh
ilallahi bilkulliyati,
muroqobah,
dan ridlo), menghindari empat bencana amal bagai api yang memakan
habis kayu kering (takabbur, ujub, riya, dan sum`ah), dan jihad akbar
(melalui proses takholli,
tahalli,
dan tajalli).
Kata
kunci: Ilmu
Syaththariah, Guru Wasithah, Zat Tuhan Yang Al-Ghaib, haqîqotul
insân,
Martabat
Tujuh,
tujuh tangga nafsu, insân
kâmil,
manusia sesat, pendidikan umum
ABSTRACT
IMPLICATION
OF THE CONCEPT INSÂN
KÂMIL
IN GENERAL
EDUCATION
IN PONDOK SUFI POMOSDA
Munawar
Rahmat
Education
is
the
process
of
humanizing
human.
Insân
kâmil (the
perfect
human)
is
the
ideal
human
model
desired
by
Islam.
Previous
studies
have explored much about the concept of
insân
kâmil;
these studies, however, tend to view the concept as
a
discourse
that
is
difficult
to
implement
in
education.
This
dissertation has
explored
the
concept
of
insân
kâmil in
the perspective of
Syaththariah
Sufism, along with its
implications
for
general
education.
The
study is qualitative in nature, adopting
case
study,
grounded
theory,
social
hermeuneutics,
and
Qur`anic hermeneutics
as its approaches and KH
Muhammad
Munawwar
Affandi,
who is the
48th
Wasithah
(duty
of
God)
of Syaththariah
Sufism, being the elite respondent.
This
study
has
yielded
the
following:
first,
Wasithah
requires
that
humans be
active determinists,
i.e.
they must
always depend
on
God
and be willing to surrender to Wasithah
and
whole heartedly
obey
his
every
instruction, just
like
the
angels
who
are
always obedient
to
God.
Insân
kâmil refers
to human beings who have been blessed with
Grace
and
Mercy
of God
because
of
their
total submission to Islam,
i.e. incorporating syare`at
and
hakekat
under the supervision of
Wasithah.
In
the
hierarchy
of
the seven
steps
of
lust,
insân
kâmil
have
reached
the
highest
one
(perfect
lust)
due
to
their
sincerity
in
carrying
out
instructions
from
Wasithah.
Second,
the
process
of reaching insân
kâmil
involves
six
stages,
namely:
asking
for
initiation;
being faithful to the oath
and
pledge;
performing
worship
and
social
charity as
instructed
by
Wasithah
(with
their hearts,
spirits,
and
senses
always
remembering The Unseen);
implementing
the
10
foundations
of
Islam
(taubat,
zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal
`alallah,
mulazimatu
dzikr,
tawajjuh
ilallahi bilkulliyati,
muroqobah,
and
ridlo);
avoiding
the
four
charity-related
disasters,
which is associated with
fire
that
burns
up dry
wood
(being
arrogant or
takabur,
boastful or ujub,
showing
off
charity
or riya,
and finding others’ weaknesses or sum’ah);
and
fighting
their
own
lust
(jihad
akbar)
through
a
process
of emptying oneself
(takholli),
adorning
self with
an exemplary
character
(tahalli),
and
showing
manifestation of
God (tajalli).
Keywords:
Syaththariah
Sufism,
Wasithah,
Unseen as a substance of God,
human
nature,
The
Seven Dignity,
the seven steps
of
lust,
Insân
Kâmil,
humans
going astray,
general education
A.
PENDAHULUAN
Insân
Kâmil
(manusia sempurna) merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh
Islam. Insân
Kâmil
bukanlah salah satu pilihan, melainkan satu-satunya pilihan hidup
bagi orang yang ingin kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan
selamat (masuk surga-Nya). Jika tidak memilih untuk menjadi Insân
Kâmil,
maka pilihan lainnya hanyalah ‘manusia sesat’ (masuk neraka-Nya)
atau ‘manusia in
between’
(mungkin, dengan fadlol
dan
rahmat Allâh, ditarik ke surga-Nya, dihindarkan dari neraka-Nya,
atau tetap dimasuk-kan ke neraka-Nya). Artinya, jika ingin masuk
surga-Nya Allâh haruslah menjadi Insân
Kâmil.
Berbicara
tentang Insân
Kâmil
berarti berbicara tentang konsep manusia perspektif Islam. Tema ini
begitu kompleks dan rumit, sekomplek dan serumit dimensi-dimensi dan
misteri-misteri unsur batin (qolbu
atau ruhani) manusia. Begitu seorang filosof dan Sufi melontarkan
konsepnya tentang manusia, pada saat yang hampir bersamaan muncul
kritik tajam dari para filosof dan sufi lainnya. Pembicaraan paling
mendalam tentang unsur ruhani dalam dunia Islam dikaji oleh tasawuf
dan tarekat. Tetapi dalam disiplin ini pun terdapat
perbedaan-perbedaan. Para Sufi dan Mursyid Tarekat memiliki pandangan
yang berbeda-beda pula. Rahardjo (1987) telah menyunting
Insân
Kâmil
perspektif
9 (sembilan) orang tokoh Dunia. Kemudian telah banyak pula disertasi
yang mengupas masalah ini, seperti: Konsep
Manusia dan Tuhan Perspektif Nuruddîn Ar-Raniry
(Daudi, 1982), Konsep
Sembah dan Budi Perspektif Mangkunegoro IV
(Ardani, 1985), Syekh
Yusuf Makassar (Hamid,
1994),
dan
Tasawuf
Syekh Muhyi (Yahya,
2003).
Persoalannya,
konsep
Insân
Kâmil
perspektif Sufi terdahulu sulit untuk diamalkan dan diimplikasikan ke
dalam dunia pendidikan, karena dua hal: Pertama,
konsepnya tidak bisa dikonfirmasi (karena sang tokoh Sufi telah
meninggal dunia). Kedua,
konsepnya itu belum tentu benar konsep sang tokoh Sufi, melainkan
konsep sang tokoh Sufi perspektif peneliti/penulis. Terlebih-lebih
jika karya sang tokoh Sufi itu diragukan keasliannya.
Pertanyaan
utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini, bagaimanakah
implikasi konsep Insân
Kâmil dalam
pendidikan umum di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa
(Pondok Sufi POMOSDA).
Dengan
menggunakan
paradigma penelitian kualitatif, disertasi ini menggali konsep insân
kâmil perspektif
Ilmu Syaththariah dan implikasinya terhadap pendidikan umum di
Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (Pondok Sufi POMOSDA).
Pendekatan
yang digunakan yakni studi kasus dan grounded
theory (Alwasilah,
2008), sedangkan analisisnya menggunakan
pendekatan social
hermeuneutic
dan metode tafsir (Tafsir Wasithah dan Al-Qarafi), dengan responden
KH Muhammad Munawwar Afandi, Guru Wasithah Ilmu Syaththariah ke-48
sebagai elite
respondent,
yang berkedudukan di Pondok Sufi POMOSDA, Tanjunganom Nganjuk Jawa
Timur.
B.
TEORI
INSÂN
KÂMIL DAN PENDIDIKAN UMUM
1.
Teori Insân
Kâmil
Semua
Sufi dan Filosof muslim mendasarkan konsepnya tentang insân
kâmil
pada Al-Quran dan hadits Nabi SAW. Kosa-kata yang bermakna ‘manusia
yang tertentu’ dalam Al-Quran cukup banyak, dan term
yang paling banyak diungkap dalam Al-Quran adalah: basyar,
al-insân,
an-nâs;
mu`min
dan
muttaqîn; musyrik, kâfir,
munâfiq,
fâsiq;
dan term
Rasûlullah.
Term-term
manusia dalam Al-Quran berhubungan dengan keberagamaan. Secara umum
manusia memiliki kecenderungan yang positif dan negatif, yakni
beragama secara benar (sesuai dengan Kehendak Allâh) atau sesat
(menuruti nafsu dan jejak iblis). Sebagian manusia dipuji oleh Tuhan
karena mereka berîman, bertakwa, ikhlas, sabar, tawakkal, pandai
bersyukur, dan memiliki nafsu muthmainnah.
Tipe manusia inilah yang potensial dapat mencapai martabat insân
kâmil.
Kehendak
Allâh sebenarnya manusia itu supaya memiliki kecenderungan positif.
Tetapi sungguh sangat mengagetkan, dan ini justru mengingatkan para
pembaca Al-Quran supaya lebih berhati-hati, ternyata term-term
manusia dalam Al-Quran lebih cenderung negatif (kebanyakan: kâfir,
musyrik, munafiq,
fâsiq,
sesat, zalim, bodoh, penantang yang paling keras, tukang membantah,
tidak pandai bersyukur, tergesa-gesa, tidak tahu agama yang benar,
merasa berîman – padahal îmannya tidak sejalan dengan Kehendak
Tuhan). Sebabnya, karena manusia cenderung menuruti nafsu dan jejak
iblis yang enggan sujud (taat, patuh, itba`)
kepada khalifahNya Allâh di bumi. Manusia kebanyakan menolak
RasûlNya Allâh, menghinakannya, bahkan tidak segan-segan
membunuhnya, karena – sebagaimana iblis – abâ
was-takbaro (sombong
dan takabur) dan anâ
khoirun minhu
(aku lebih baik daripada RasûlNya Allâh). Mereka memandang
Rasûl itu dari sudut penampilannya (rasnya, status
sosial-ekonominya, pendidikannya, dan penampilan lahiriah lainnya).
Akibatnya, manusia divonis ‘sesat’ oleh Allah karena mereka
beragama dengan mengikuti keberagamaan mayoritas, agama leluhur, puas
dengan hasil pemikirannya sendiri, atau mengikuti tokoh idola;
ujung-ujungnya mempertuhankan nafsu dan mengikuti jalan iblis,
mengabai-kan RasûlNya yang selalu ada di tengah-tengah umat, gengsi
bertanya kepada ahladz
dzikri,
dan enggan meneladani Rasûl-Nya.
Syekh
Fadlullah (Gujarat)
dalam Martabat
Tujuh
menguraikan proses tanazul
(turun) Tuhan agar terjangkau oleh manusia. Menurut Armstrong
(1995: 280),
ajaran Martabat
Tujuh
merupakan konsepsi yang berhubungan dengan tajallî
Allâh (penyingkapan Diri Tuhan kepada makhluk-Nya) dalam proses
penciptaan alam semesta dan manusia. Ternyata
proses tanazul
Tuhan serendah-rendahnya pada martabat insân
kâmil.
Kitâb
ini merupakan ajaran utama untuk memahami tauhid wihdatusy
syuhûd
(=”menyaksikan” Tuhan), yakni melalui pancaran cahaya dari insân
kâmil
(KhalifahNya atau RasûlNya). Artinya, jika ingin mencapai martabat
insân
kâmil,
maka manusia haruslah memperoleh pancaran RasûlNya, karena dia
sebagai insân
kâmil mukammil
(insân kâmil
yang dapat membimbing manusia untuk mencapai martabat insân
kâmil).
Ajaran Martabat
Tujuh ini
pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Syekh Abdurra`uf Sinkili (Aceh)
dan dibawa ke Jawa oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya),
yang kemudian tersebar luas di kalangan Ulama Nusantara abad
XVII-XVIII Masehi (Yahya, 2007: 69). Simuh (1996: 308) mengemukakan
bahwa paham Martabat
Tujuh
yang dibawa Syekh Abdul Muhyi pada abad XVII Masehi diserap oleh
beberapa buku sufistik Islam Jawa, seperti: Sekar Macapat, Serat
Centini, dan Wirid Hidayat Jati.
Jalan
untuk mencapai martabat insân
kâmil
haruslah mengikuti jalan Sufi.
Syarat pertamanya harus berîman dan berniat berproses menuju
martabat insân
kâmil.
Tetapi jalannya harus mengikuti Sufi, yakni shirôthol
mustaqîm;
bukan jalan-jalan yang lain. Adapun Jihâd Akbar (jihad menundukkan
nafsu dan syahwat) merupakan jalan utama yang ditempuh para Sufi.
Imam Ghazali
(1333 H: 4) menguraikan tujuh tangga nafsu, yaitu: amarah,
lawwamah, mulhimah, muthmainnah, rodliyah, mardliyah, dan
kâmilah.
Tampaknya, upaya menundukkan nafsu itu haruslah dengan menaiki
ketujuh tangga nafsu itu hingga mencapai nafsu kâmilah.
Tetapi, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Araby, haruslah mendapat
pancaran cahaya dari RasûlNya.
Jika tidak dengan cara begitu (selain insân
kâmil)
hanyalah sebagai manusia binatang atau monster
setengah manusia. Manusia ini bisa mencapai kesempurnaan dirinya
sebagai manusia, jika ia menanggalkan kebinatangannya, kemudian
mengembangkan dirinya untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia.
(Ibn Araby, dalam Takeshita, 2005: 131-133).
2.
Teori Pendidikan
Umum
Pendidikan
umum (di Barat) merupakan: gagasan-gagasan fundamental yang sama,
yakni kebajikan-kebajikan intelektual (Hunchins); makna-makna yang
esensial (Phenix), yang secara operasional diarahkan untuk
mengembangkan peserta didik menjadi warga negara yang baik (good
citizenship)
dan mampu berkomunikasi secara baik dengan sesama (Nelson). Tetapi di
Indonesia bukan sekedar demikian, melainkan sebagai manusia yang
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, walau dalam prakteknya tidak
jauh berbeda dengan di Barat, lebih dipengaruhi oleh budaya
Hellenisme
(Suriasoemantri,
1982;
Sanusi, 1994; Soemantri, 2001).
Naquib
al-Atas (Daud, 2003: 221-225) mengingatkan tentang istilah
universitas
(universum)
sebagai padanan dari kata kulliyah.
Penggunaan istilah ini sangat erat hubungannya dengan konsep al-insân
al-kulli
(manusia universal) atau insân
kâmil
(manusia sempurna) yang merupakan ideal wujud manusia menurut agama
Islam. Insân
kâmil
adalah manusia yang mampu mengenali dan mengakui tempat-tempat yang
benar dari segala sesuatu, termasuk dirinya, dalam tatanan sedemikian
rupa sehingga membimbingnya ke arah pengenalan dan pengakuan yang
benar dari Allâh dalam tatanan wujud dan eksistensi. Jadi, menurut
konsep ini, universitas harus melayani tujuan penciptaan manusia
(yang diharapkan mencapai martabat insân
kâmil),
bukan sekedar warga negara yang baik sebagaimana di negara sekuler.
Universitas modern sekarang ini ditujukan untuk mencetak
pekerja-pekerja yang baik dalam rangka melayani program-program
negara yang berorientasi semata-semata kebutuhan material
(ekonomistik). Lulusan universitas hanyalah orang-orang yang
menguasai keterampilan-keterampilan (know
how),
tetetapi tidak mengenal tujuan hidupnya secara keseluruhan (know
why).
Spesialisasi dalam konteks ini adalah representasi utama dari
universitas modern. Dengan demikian, produk universitas modern bukan
lagi al-insân
al-kulli
atau insân
kâmil,
melainkan al-insân
al-juz`i
yang terpecah-pecah, yang tidak mampu mengenali diri dan
lingkungannya dalam suatu keseluruhan.
C.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASANNYA
1.
Konsep dan Proses Menuju Martabat Insân Kâmil
Insân
kâmil adalah
hamba Allâh yang mengamalkan Islam kâffah
(total)
secara maksimal, yakni memenuhi perintah Allâh udkhulû
fî silmin kâffah (Qs.
2/Al-Baqarah ayat 208). Menurut Ilmu Syaththariah memasuki Islam
secara kâffah
adalah
dengan meng-Islamkan seluruh unsur manusia, yakni menjalankan
syare`at dan hakekat.
Allâh SWT mewanti-wanti “janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syetan”, karena syetan berkehendak agar orang Islam cukup
menjalankan syare`at
saja
atau hakekat
saja. Kemudian ditegaskan pula bahwa “syetan itu musuh yang nyata
bagi manusia”. Artinya, syetan itu (baik dari bangsa jin ataupun
bangsa manusia) membelokkan manusia dari kehendak Tuhan.
Menurut
Ilmu Syaththariah, manusia terdiri dari empat
unsur,
yakni: raga,
hati
(hati sanubari atau hati nurani), roh,
dan rasa.
Pandangan
ini sejalan dengan Al-Qusyairi yang mengemukakan adanya tiga alat
dalam tubuh manusia dalam hubungannya dengan Allâh, yakni qolb
yang berfungsi untuk mengetahui Sifat-sifat Allâh, ruh
yang berfungsi untuk mencintai Allâh, dan sirr
yang berfungsi untuk melihat Allâh (Praja, 1990: 149-150). Kemudian
Sufi Jawa seperti Pangeran
Mangkunegoro IV (1811–1881 M) secara tersirat mengemukakan adanya
empat unsur manusia. Dalam Serat-serat
Piwulang,
ia mengungkapkan adanya empat macam sembah (ibadah), yakni: sembah
raga (=ibadah raga), sembah cipta (=ibadah hati), sembah jiwa
(=ibadah roh), dan sembah rasa (=ibadah rasa). (Ardani, 1995: 56, 68,
84, 94).
Bagi
kebanyakan orang adanya empat unsur manusia ini tentu terasa asing
karena umumnya Filosof dan Sufi hanya mengemukakan adanya dua unsur,
jasmani dan ruhani (batin, hati, jiwa) dengan penegasan unsur
ruhani inilah yang membedakan manusia dari binatang. (Praja, 1987:
165-178). Tetapi para Sufi menjabarkan unsur batin kepada beberapa
sub-unsur. Imam Ghazali, misalnya, menguraikannya kepada lima
sub-unsur: ruh, qolb
(hati),
`aql
(akal), nafs
(nafsu), dan hasrat. Untuk
kajian filsafat, Al-Ghazali menggunakan istilah nafs,
ruh, dan
`aql,
tetapi untuk kajian tasawuf dia gunakan istilah qolb.
(Takeshita, 2005: 112-113).
Perspektif
Ilmu Syaththariah, Islamnya raga
adalah dengan menjalankan
syare`at,
sedangkan Islamnya hati,
roh,
dan
rasa
adalah dengan menjalankan
hakekat. Atau secara lebih rinci: hati
menjalankan tarekat, ruh
ngambah
hakekat, dan rasa
mencapai ma`rifat
bi Dzâtillâh
hingga fana` Zat.
.
Raga
merupakan barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah
(kulit), air (tulang), api (daging), dan udara (darah). Hati
terdiri
dari dua jenis, yakni hati sanubari dan hati nurani. Kedua hati
letaknya dalam dada manusia. Hati sanubari, letaknya dalam ati-ampela
(dua jari di bawah rusuk kiri), adalah hati yang gelap gulita (tidak
kenal Tuhan, berwatak bangsa hewan, dan sejalan dengan iblis). Adapun
hati nurani, letaknya dalam hati-jantung (yang berbunyi deg-deg,
di tengah-tengah dada), adalah hati yang memperoleh Cahaya Ilahi
(kenal Tuhan, berwatak seperti malaikat muqorrobun
yang rela sujud/taat kepada Wakil-Nya Tuhan di bumi, yakni
Rasûlullah, dan selalu ingat Tuhan). Roh,
letaknya dalam hati-nurani (artinya, hati-nurani merupakan bungkus
roh), adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Adapun rasa
(sirr),
letaknya pada kedalaman roh yang ketujuh. Unsur rasa
inilah yang merupakan jati-diri manusia (fitrah manusia) yang Dicipta
Tuhan dari Jati-DiriNya (Fitrah-Nya), sebagaimana firmanNya dalam Qs.
30/Ar-Rum ayat 30: fithrotallâhil
latî fathoron nâsa alaihâ.
Pada
unsur rasa
ini pula adanya lubang
cahaya
(minhâj)
yang tembus kepada Tuhan, yakni lubang cahaya yang menghubungkan
jati-diri manusia dengan Jati-Diri Tuhan, sebagaimana firmanNya dalam
Qs. 5/Al-Maidah ayat 48: likulli
ja’alnâ minkum syir`atan wa minhâjâ.
Hakekat
manusia
menurut Ilmu Syaththariah adalah unsur rasa-nya
itu. Insân
kâmil adalah
manusia yang jati-dirinya kembali kepada Jati-Diri Tuhan
(melalui lubang cahaya itu). Tetapi untuk mencapai martabat rasa,
yakni untuk dapat kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia,
tidak ada jalan lain kecuali menjalankan Islam
secara kâffah
(total),
yakni menjalankan syare`at
dan
hakekat.
Menurut
Ilmu Syaththariah, unsur manusia yang merupakan barang pinjaman
(bukan jati-dirinya) harus kembali ke asalnya masing-masing. Cara
mengembalikannya dan mengokohkan jati-dirinya adalah dengan
menjalankan syare`at dan hakekat itu. Makanya, raga
harus
bosok
(kembali ke asalnya masing-masing: kulit kembali menjadi tanah,
tulang kembali menjadi air, daging kembali menjadi api, dan darah
kembali menjadi udara), yakni dengan menjalankan syare`at
(segala peribadatan yang dijalankan oleh raga, terutama Rukun Islam
dan akhlaqul
karimah);
hati sanubari harus ditundukkan agar dapat dijadikan tunggangannya
hati nurani, roh, dan rasa, sehingga hati
adam
(menafikan wujud diri dan dunianya), yakni dengan menjalankan tarekat
(hanya
mengingat-ingat Zat Tuhan Yang Al-Ghaib); roh
sirna
(roh adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Karena barang pinjaman milik
Tuhan, makanya roh sirna
kembali kepada Tuhan), yakni dengan ngambah
hakekat
(merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya, Yang Punya Kekuatan, dan Yang
Wujud hanyalah
Zat
Yang Al-Ghaib); dan yang kekal-abadi
(yang
tertinggal) hanyalah jati-dirinya, rasa-nya
(sirr-nya),
yakni mencapai ma`rifat
bi Dzâtillâh hingga
fana` Zat. Pandangan Ilmu Syaththariah ini didasarkan pada Qs.
55/Ar-Rahman ayat 26-27: kullu
man alaihâ fânin, wa yabqô wajhu robbika dzul jalâli wal ikrôm
(=Semua
yang ada di bumi itu (termasuk jiwa-raga manusia) akan binasa.
Dan tetap
kekal Dzât Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan).
Jati-diri
manusia karena berasal dari Jati-Diri Tuhan, maka akan tetap Kekal,
tidak akan binasa. Hanya saja kekalnya
jati-diri manusia ada dua macam:
pertama,
yang kembali dan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan senang dan
bahagia selama-lamanya di sisi Raja Diraja Yang Berkuasa (bagi
manusia yang mencapai martabat insân
kâmil);
dan kedua,
yang kembali ke tempat sesat yang Tuhan sediakan dalam keadaan susah
dan sengsara selama-lamanya (bagi manusia yang sesat, masuk
neraka-Nya).
Menurut
Ilmu Syaththariah manusia jenis pertama ini (mencapai martabat insân
kâmil)
sangat sedikit, sedangkan jenis kedua sangat banyak, sesuai firman
Allâh dalam Al-Quran: fa
qolîlan mâ yu`minûn
=maka sedikit sekali mereka yang berîman (Qs. 2/Al-Baqarah: 88;
69/Al-Haqqah: 41), Innâ
akromakun `indallâhi atqôkum =Sesungguhnya
orang yang paling mulia di sisi Allâh adalah orang yang paling
bertakwa (Qs. 40/Al-Hujurat: 13), padahal untuk mencapai ketakwaan
terlebih dahulu harus berîman; dan ...
illâ ‘ibâdaka minhumul mukhlashîn =kecuali
hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka, yang tidak akan
tersentuh oleh iblis (Qs. 15/Al-Hijr: 40). Jika orang yang berîman
saja sedikit terlebih-lebih lagi mereka yang bertakwa, dan
terlebih-lebih lagi mereka yang ikhlas tentu lebih sedikit lagi;
demikian juga asy-Syakûr
(manusia yang bersyukur) hanya sedikit, sebagaimana firmanNya qolîlan
mâ tasykurûn
=hanya
sedikit manusia yang bersyukur (Qs. 7/Al-A`raf: 10; 23/Al-Mu`minun:
78; 32/As-Sajdah: 9; 67/al-Mulk: 23).
Dengan
menggunakan tujuh tangga nafsu (amarah,
lawwamah, mulhimah, muthmainnah, rodliyah, mardliyah,
dan kâmilah),
maka insân
kâmil
– dilihat dari tingkatan nafsunya – adalah hamba Allâh yang
mukhlish
dan
telah mencapai nafsu
kâmilah
(nafsu yang sempurna). Hamba
Allâh yang mukhlish
adalah hamba Allâh yang telah melampaui tingkatan muttaqîn
(bertakwa). Hamba ini selain memiliki ciri-ciri muttaqîn,
juga kalau berkorban ia tidak merasa telah berkorban, kalau berinfak
tidak merasa telah berinfak, kalau ber-mujâhadah
tidak
merasa telah melakukan mujâhadah
;
diuji dengan senang biasa-biasa saja (tidak merasakan senang), diuji
dengan susah biasa-biasa juga (tidak merasakan susah). Bagi mereka
yang mukhlish
tidak ada bedanya dikayakan atau dimiskinkan, disehatkan atau
disakitkan, dan lain sebagainya. Pokoknya ia sudah benar-benar
seperti mayat yang rela disucikan oleh yang berhak mensucikannya,
yakni tunduk patuh sepenuhnya kepada perintahnya Guru yang hak dan
sah. Sebagaimana para malaikatNya Allâh, hamba Allâh yang mukhlish
telah benar-benar membunuh nafsunya sendiri hingga tunduk dan patuh
dijadikan tunggangannya hati-nurani, roh, dan rasa untuk pulang
kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan selamat.
Untuk
memperkokoh konsep insân
kâmil,
kajian ini akan dilengkapi dengan proses tanazul
Tuhan sejak DiriNya masih sendirian (belum menciptakan makhluk)
hingga terciptanya insân
kâmil
dalam Martabat
Tujuh-nya
Syekh Fadldullah (yang melalui tujuh tangga turun). Kemudian
disajikan pula proses taroqi
(naiknya) hamba untuk mencapai insân
kâmil
yang harus melalui tujuh tangga naik (melalui tujuh tangga nafsu).
Proses
tanazul
Tuhan (untuk dapat didekati oleh makhluknya yang berbangsa manusia)
melalui tujuh tangga turun, sebagai berikut:
- Martabat Ahadiyat = Zat Tuhan Yang Al-Ghaib (ketika masih sendirian)
- Martabat Wahdat = Cahaya TerpujiNya Zat Tuhan = Nur Muhammad
- Martabat Wâhidiyat =Fitrah manusia =hakekatul insân =unsur Rasa (Sirr)
- Alam Arwah =Daya dan Kekuatan Tuhan yang ditiupkan ke raga manusia
- Alam Mitsal = Struktur yang lembut dari Hati Nurani dan akal budi
- Alam Ajsam = unsur Raga manusia
- Insân Kâmil = Pertama, para Rasûl dan para Nabi atau Guru Wasithah sebagai insân kâmil mukammil (=insân kâmil yang membimbing manusia untuk mencapai insân kâmil), Kedua, para Wali dan orang-orang mu`min, yakni insân kâmil yang disempurnakan oleh Nabi atau Rasûl (Guru Wasithah), bagaikan matahari yang memancarkan cahayanya kepada bulan, sehingga bulan dapat menerangi bumi.
Jadi,
proses tanazul
Tuhan itu serendah-rendahnya martabat Insân
Kâmil,
karena Tuhan Maha Suci. Artinya, bagi para hamba Allâh yang ingin
mendekati Tuhan hingga sampai dengan selamat haruslah melakukan Jihad
Akbar hingga mencapai martabat insân
kâmil.
Adapun untuk mencapai martabat yang suci ini, maka manusia yang sudah
berwujud jiwa-raga (yang hidup di dunia ini) haruslah melalui proses
taroqi,
yakni menaiki (menunduk-kan) tujuh tangga nafsu berikut:
1)
|
Nafsu Amarah
|
=
|
Sombong,
iri-dengki, dendam, nuruti nafsu, serakah, jor-joran, senang
marah, pembenci, tidak tahu kewajiban, akhirnya gelap tidak
mengetahui Tuhan
|
| |||
2)
|
Nafsu Lawwamah
|
=
|
Enggan, cuek,
senang memuji diri, pamer, dusta, mencari `aib orang, senang
menyakiti, dan pura-pura tidak tahu kewajiban
|
3)
|
Nafsu Mulhimah
|
=
|
Suka memberi,
sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, taubat,
sabar, tahan menghadapi kesulitan, dan siap menanggung betapa
beratnya menjalankan kewajiban
|
|
|
|
|
4)
|
Nafsu
Muthmainnah
|
=
|
Senang
beribadah, senang sodaqoh, mensyukuri nikmat dengan memperbanyak
amal, tawakkal, ridlo dengan ketentuan Allâh, dan takut kepada
Allâh
|
|
|
|
|
5)
|
Nafsu Rodliyah
|
=
|
Pribadi yang
mulia, zuhud, lkhlas, wira`i,
riyadlah, dan menepati janji
|
|
|
|
|
6)
|
Nafsu
Mardliyah
|
=
|
Bagusnya budi
pekerti, bersih dari segala dosa makhluk, rela menghilangkan
kegelapannya makhluk, dan senang mengajak serta memberi pepadang
kepada roh-nya
makhluk
|
|
|
|
|
7)
|
Nafsu Kâmilah
|
=
|
`Ilmul-yaqîn,
`ainul-yaqîn,
dan haqqul-yaqîn
|
Untuk
mencapai martabat insân
kâmil,
maka nafsu kita seharusnya berada di level-7 (nafsu
kâmilah),
tetapi jangan ‘diaku’. Jangan ‘diaku’ punya `ilmul-yaqîn,
`ainul-yaqîn,
dan haqqul-yaqîn.
Kalau ‘diaku’ tetap saja nafsu yang dalam Qs. 12/Yusuf ayat 53
disebutkan sebagai: innan
nafsa la ammarôtun bissû`i (=karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan). Artinya,
nafsu
kâmilah
sekalipun akan dinilai Tuhan sebagai nafsu yang buruk (yang bisa
mengantarkannya ke neraka); illâ
mâ rohima robbî (kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku). Nafsu yang dirahmati Tuhan
adalah nafsu yang bagus-bagus (mulhimah,
muthmainnah, Rodliyah, mardliyah,
dan kâmilah)
sebagai proses taroqi
atas perintahnya Guru Wasithah, bukannya yang di-’aku’sebagai
prestasi mujâhadah,
riyadloh
dan riyalat-nya.
Tetapi
dengan welas asih dan pertolongan Allâh, untuk dapat kembali kepada
DiriNya hingga sampai dengan selamat – asalkan me-nafi-kan
daya, kekuatan, dan wujud diri dan dunianya serta hanya
meng-itsbat-kan
DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib dalam rasa hatinya – maka dengan
nafsu
muthmainnah
saja (level-4) yang disandarkan atas perintahnya Guru Wasithah sudah
cukup mengantarkan jati-dirinya kembali kepada Tuhan dengan selamat
dan bahagia. Tingkatan nafsu
kâmilah
dapat dicapai setelah dirinya meninggalkan dunia yang fana` ini.
Dalam Qs. 89/Al-Fajr ayat 27-30 Allâh SWT berfirman:
Wahai
nafsu
muthmainnah
(=jiwa yang tenang). Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (=nafsu rodliyah) lagi
diridloi-Nya (=nafsu mardliyah).
Maka masuklah ke dalam (jama'ah) hamba-hamba-Ku (=nafsu kâmilah);
dan masuklah
ke dalam surga-Ku.
Misalkan
keberagamaan seseorang berada pada kondisi senang
beribadah, suka memberi, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih,
lemah lembut, taubat (selalu merasakan banyak dosa dan kesalahan
sehingga terus-menerus bertobat), sabar dan tahan menghadapi
kesulitan, serta siap menanggung betapa beratnya menjalankan
kewajiban. Artinya
tingkatan nafsunya berada di level-3 (nafsu
mulhimah).
Jika ingin bertemu dengan Tuhan, ingin dipanggil olehNya untuk
kembali
kepadaNya
(karena innâ
lillâhi wa innâ ilaihîi rôji’ûn
=kita berasal dari Allâh dan kembali kepadaNya), maka orang itu
harus meningkatkan keberagamaannya, serendah-rendahnya dalam kondisi:
senang beribadah, senang sodaqoh, mensyukuri nikmat dengan
memperbanyak amal, tawakkal (menyerahkan segala urusan/mewakilkannya
kepada Allâh, sehingga nafsu dan akal kita tidak diperankan lagi),
ridlo dengan ketentuan Allâh (diuji dengan yang susah ataupun
senang), dan takut kepada Allâh. Atau harus naik ke level-4 (nafsu
muthmainnah).
Insân
kâmil adalah
pribadi yang berkembang keempat unsur manusia-nya (raga, hati, roh,
dan rasa) secara sempurna sesuai dengan Kehendak Tuhan, yang
disandarkan atas perintah Guru, agar jati-dirinya yang berasal dari
Tuhan dapat kembali lagi kepada Tuhan. Bagaimanakah mengembangkannya?
Syarat
utama
insân kâmil adalah
raja
dalam
dirinya adalah
hati nurani,
bukan hati sanubari. Jika rajanya hati nurani maka raga
akan mengamalkan syareat,
seperti membaca dua kalimat syahâdat, mengerjakan shalat lima waktu,
shalat malam dan shalat-shalat yang menyertai shalat lima waktu,
berpuasa di bulan ramadlan dan puasa-puasa sunat, membayar kifarat,
zakat, infak, shodaqoh, jariyyah, dan ibadah harta lainnya, hidup
guyub rukun dengan sesama, hingga peduli terhadap lingkungan, yang
pada pokoknya adalah semua peribadatan yang dilakukan oleh raga
sebagaimana Dawuh Guru (Wasithah).
Kemudian
hati
menjalankan tarekat,
yakni hanya mengingat-ingat DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib (Isi-Nya
Hû,
yang dibisikkan oleh Guru Wasithah saat inisiasi, pemberkatan). Lalu
roh
ngambah
(mencapai) hakekat,
yakni merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan Punya Kekuatan
hanyalah DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib (Isi-Nya
Hû).
Terakhir, rasa
(sirr)
mencapai ma`rifat,
yakni merasa-rasakan bahwa yang benar-benar Wujud hanyalah DiriNya
Ilahi Zat Yang Al-Ghaib Yang Wajib WujudNya, Allâh AsmaNya (Isi-Nya
Hû
).
Orang yang telah mencapai martabat
rasa
ini akan mengalami fana`
fillâh
(leburnya aku kepada Sang Maha Aku). Prosesnya, mula-mula fana`
af`al
(perbuatan), kemudian fana`
sifat,
dan terakhir fana`
Zat.
Mungkin
di dunia ini hanya segelintir orang yang sudah mencapai fana`
Zat,
yakni para Nabi, para Rasûl, dan para Wali Kekasih Allâh.
Orang-orang mu`min hanya mencapai fana`
af`al
dan fana`
sifat,
tetapi mungkin saja mencapai fana`
Zat
dalam sekejap (hitungan detik atau menit). Tetapi di âkhirat, semua
orang yang mati selamat akan mencapai fana`
zat
(mencapai martabat insân
kâmil).
Jika dihubungkan dengan tujuh tingkatan nafsu, maka start
awal untuk menuju martabat insân
kâmil
haruslah menjadi hamba Allâh yang bertakwa
dan telah mencapai tingkatan nafsu muthmainnah;
selanjutnya, ditarik oleh fadlol dan rahmat-Nya, mencapai tangga
nafsu di atasnya (rodliyah,
mardliyah,
hingga kâmilah).
Adapun
proses
salik
menuju martabat insân
kâmil
sungguh sangat jauh dan melelahkan. Jika bukan karena fadlol
dan rahmat Allâh, maka tidak akan ada yang sampai kecuali
hamba-hamba yang dijadikan pilihan dan kekasihNya.
Namun
demikian ada sejumlah tahapan sebagai proses menuju martabat insân
kâmil,
yakni: (a) meminta petunjuk Ilmu Syaththariah/ Ilmu Nubuwah
(di-bai’at
atau di-talqin
zikir), (b) bersedia disumpah dan dijanji, (c) melakukan lakon
(mujâhadah
shalat
fardlu-qodlo-sunat, zikir, aurad, do’a memohon dibukakan pintu
hidayah-Nya, do’a tolak-bala`, sujud syukur, serta Mujâhadah
Puji Wali Kutub dan
Mujâhadah Asma Sanga)
dan melakukan pitukon (ibadah harta, amal sosial, dan kerja
profesional demi subhânaKa
– Memahasucikan Tuhan, (d) menjalankan 10 dasar agama (taubat,
zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal
`alallâh,
mulazimatu
dzikr,
tawajjuh
ilallâhi bilkulliyati,
muroqobah,
dan ridlo), (e) menghindari empat bencana amal bagai api yang memakan
habis kayu kering (takabbur,
ujub,
riya,
dan sum`ah),
dan (f) Jihâd Akbar untuk menghadapi ujian hidup (melalui proses
takholli,
tahalli,
dan tajalli)
hingga mencapai fana` Zat.
2.
Implikasi Konsep Insân
Kâmil dalam Pendidikan Umum
Pelaksanaan
pendidikan insân
kâmil
di Pondok Sufi POMOSDA sesuai dengan yang direncanakan, baik
menyangkut pengadaan ustad, substansi materi atau core curriculum,
maupun kriteria atau tahapan santri yang potensial dibimbing untuk
mencapai martabat insân
kâmil.
Oleh karena itulah, dengan bimbingan Guru Wasithah banyak murid-murid
yang sudah ngetes
(berproses menuju martabat insân
kâmil),
hingga mencapai 7,5% dari total murid Wasithah sekitar 100.000 orang,
dan 17,5% lagi dalam proses ngetes.
Berdasarkan survey, responden yang sudah ngetes
bagaikan bagai
malaikatul
muqorrobûn
yang rela sujud (pasrah bongkokan)
kal
mayyiti baena yadil ghosili
(seperti mayat yang rela disucikan oleh orang yang berhak
mensucikannya), yakni selalu pasrah bongkokan
kepada Guru Wasithah (perkataan dan perbuatannya, ilmu dan amalnya,
lahir dan batinnya). Mereka
sangat tumemen
(bersungguh-sungguh) dalam menjalankan lakon
dan pitukon
(ibadah dan amal sosial) sesuai Dawuh Guru, dengan rasa-hati
yang selalu mengingat-ingat dan merasa-rasakan DiriNya Ilahi Zat
Tuhan Yang Al-Ghaib. Walau demikian, karena sudah mencapai tingkat
ikhlas,
mereka sama sekali tidak merasakan ber-mujâhadah,
tidak merasakan telah berkorban. Mereka biasa-biasa saja, tidak
menunjukkan sebagai orang yang sangat tumemen
dalam melakukan lakon
dan pitukon.
Demikian juga para santri yang sedang belajar SMA dan STT POMOSDA,
responden yang menjadi murid Wasithah lebih taat menjalankan
peribadatan dibanding mereka yang tidak menjadi murid. Dalam shalat,
misalnya saja, mereka lebih banyak shalatnya; ketika shalat ingat Zat
Tuhan (sehingga shalatnya potensial khusyu`
dan dapat berpengaruh untuk mencegah perbuatan keji dan munkar);
selalu berzikir, wirid, berdoa tolak bala`, memohon diberi hidayahNya
agar ditetapkan dalam agama yang lurus, beristighfar dan memohon
pengampunan Tuhan (bagi dirinya, bagi Guru, orang tua dan leluhur,
warga Syaththariah, dan bagi kaum muslimin se Dunia), dan sujud
syukur (yakni mengakui dosa-dosa dan kesalahan, memohon pengampunan
Tuhan, bersyukur karena hatinya dimaukan Tuhan untuk menjadi murid
Wasithah dan dimaukan untuk menjalankan ajaran yang lurus). Rahasia
keberhasilan pendidikan ini karena match-nya
di antara unsur-unsur atau komponen-komponen pendidikan dan dibimbing
oleh Guru Wasithah.
D.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASINYA
1.
Kesimpulan
Pertama,
Guru Wasithah mengharuskan manusia bersifat jabbari-aktif,
yakni harus selalu bergantung kepada Tuhan dan pasrah bongkokan
kepada Guru Wasithah, bagai malaikat muqorrobûn
kal
mayyiti baena yadil ghosili
(seperti mayat yang rela disucikan oleh orang yang berhak
memandikannya), yakni selalu bersungguh-sungguh
menjalankan
Dawuh Guru. Insân
kâmil adalah
hamba Allâh yang telah ditarik oleh fadlol
(karunia) dan rahmat-Nya, karena kesungguhannya dalam menjalankan
Islam kâffâh,
yakni menjalankan syare’at dan hakekat dengan bimbingan Guru
Wasithah hingga mencapai fana`
Zat. Pada hirarki tujuh tangga nafsu, insân
kâmil merupakan
hamba Allâh yang telah
mencapai tangga nafsu tertinggi (nafsu
kamilah)
sebagai buah dari kesungguhannya dalam menjalankan Dawuh Guru. Kedua,
proses untuk mencapai martabat insân
kâmil melalui
enam tahapan, yakni: meminta di-bai’at
atau di-talqin
zikir kepada Guru, setia dengan sumpah dan janji, menjalankan lakon
(ibadah) dan pitukon
(amal sosial) sesuai Dawuh Guru (disertai hati, roh, dan rasa yang
selalu mengingat-ingat Zat Tuhan Yang Al-Ghaib), menjalankan 10 dasar
agama (taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal
`alallâh,
mulazimatu
dzikr,
tawajjuh
ilallâhi bilkulliyati,
muroqobah,
dan ridlo), menghindari empat bencana amal bagai api yang memakan
habis kayu kering (takabbur, ujub, riya, dan sum`ah), dan jihad akbar
(melalui proses takholli,
tahalli,
dan tajalli).
2.
Implikasi
Pendidikan
dilaksanakan dengan niat li
ilâ`i kalimatillâh
(semata-mata menegakkan kalimat Allâh), dijalankan berdasarkan
ilallâh
(menuju Allâh), minallâh
(dari Allâh), fî
sabîlillâh (di
jalan Allâh), dan lillâh
(karena Allâh). Adapun tujuannya membimbing murid (orang yang
berkehendak kembali kepada Allâh hingga sampai dengan selamat) untuk
mencapai martabat insân
kâmil.
Syarat pertama dan utama untuk mencapai martabat ini haruslah
ber-iman, yakni iman yang ma’rifatun
wa tashdîqun.
Kemudian menjalankan ibadah bi
shidqin wa ikhlâshîn.
Lalu bersungguh-sungguh dalam beribadahnya (mujtahidun
fî
’ibâdatihi
bi
shidqin wa ikhlâshîn)
dan menjalankan jihad akbar hingga hati sanubari (nafsu dan syahwat)
benar-benar ditundukkan dijadikan tunggangannya hati nurani, roh, dan
rasa.
Faktor
ustad (guru, dosen) dan core
curriculum
atau substansi materi pendidikan umum sangat penting. Tidak bisa
ditawar-tawar, ustad harus menjadi teladan (sedang berproses menuju
martabat insân
kâmil,
telah mencapai nafsu muthmainnah,
atau sekurang-kurangnya telah mencapai nafsu mulhimah).
Ada pun substansi materi dipilih yang benar-benar ’inti’ dan
’kunci’, karena perintah Tuhan bersifat hirarkis; bahwa suatu
perintah akan diterima oleh Tuhan jika syarat-syarat perintah itu
dilaksanakan. Ujung perintah itu adalah mentaati Allâh dan RasûlNya.
Tetapi karena Allâh itu Zat Yang Al-Ghaib (tidak mungkin menampakkan
DiriNya di bumi milikNya), maka Allâh lalu mengangkat
wakilNya/RasûlNya
sebagai Al-Wasîlata
atau
Wasatho (Guru
Wasithah),
Waliyan
Mursyidan
(Guru Mursyid), Ahladz
Dzikri,
Imâmun
Mubîn,
Al-Hâdî,
An-Nadzîr
atau
Mundzîr,
dan
Al-Bayîr
(karena
ia pernah kembali kepadaNya, sehingga kenal benar dengan Tuhan).
Hasil
penelitian survey
menunjukkan bahwa siswa dan mahasiswa yang menjadi murid Wasithah
lebih tinggi ketaatan beragamanya dibanding siswa dan mahasiswa yang
tidak menjadi murid Wasithah. Artinya, mereka yang menjadi murid
Wasithah lebih potensial berproses menuju martabat insân
kâmil
dibanding mereka yang tidak menjadi murid Wasithah. Implikasi
praktisnya adalah bahwa konsep insân
kâmil
dan model pendidikan insân
kâmil
yang digagas Guru Wasithah itu memang implementatif.
RIWAYAT
HIDUP
Munawar
Rahmat lahir di Cisaat Kabupaten Sukabumi (Jawa
Barat) pada
28 Januari 1958. Ia anak kedua dari 10 bersaudara, dari pasangan Muh.
Saleh Zaini (wafat 1978) dan Maryam (wafat 2007). Ia menikah dengan
Dra. Siti Rokhyati (lahir di Banjarnegara, 12-12-1962) pada 30
Desember 1982, dan diamanati lima anak: Fansuri Munawar, SE
[UGM], MM [UPI].
(Banjarnegara,
19-10-1983),
Ghifari Munawar, S.Kom
[UB], M.IT [ITB]
(Bandung,
12-04-1986),
Raniri Munawar,
S.Par [UPI]
(Bandung,
06-01-1988),
Muhammad Nadzeri Munawar (Bandung,
15-06-1994),
dan Fethima Sabardila Munawar (Bandung,
08-04-2003).
Di
waktu kecil ia dididik agama oleh ayah dan ibunya. Pada tahun 1966
masuk SD sekaligus Madrasah
Diniyah
PUI,
sedangkan shubuh dan maghrib mengaji di masjid terdekat. Pada tahun
1968 ia mengikuti orang tuanya yang pindah rumah dan bertugas di PGAN
Cipetir (Kabupaten Sukabumi), ia pun pindah sekolah ke Madrasah
Ibtidaiyah Muhammadiyah Cipetir hingga tamat. Tahun 1972-1977 belajar
di PGAN 6 Tahun, di tempat ayahnya bertugas; sedangkan malam harinya
mengaji tafsir dan ilmu agama pada ayah sendiri. Tahun 1978 kuliah di
Fakultas Tarbiyah UNISBA Bandung
(Sarjana
Muda 1981, Sarjana 1983). Pernah mengabdi di almamater sebagai dosen.
Mulai tahun 1986 bekerja sebagai dosen/ PNS pada FPIPS Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI,
Bandung),
sekaligus masuk program S2 Pendidikan Umum FPS IKIP Bandung (UPI),
selesai 1989. Selesai kuliah, ia diamanati memimpin Jurusan MKDU
FPIPS UPI (1990-1993). Kemudian, tahun 1993 ia masuk program S3,
tetapi berhenti
tahun
1994.
Aktif kembali kuliah di
S3 mulai
Oktober 2008 hingga 2010.
Ia
aktif menulis buku, 5
tahun terakhir ini:
Membangun
Pendidikan Islam
(2008), Menyamakan
Persepsi tentang Islam
(2009), Pendidikan
Insan Kamil di Pondok Sufi Pomosda
(diangkat dari Disertasi, 2010), Filsafat
dan Teosofat Akhlak
(2011, sebagai Editor), Implementasi
Pendidikan Akhlak dan Karakter di Sekolah dan Keluarga
(2011),
dan Tafsir
Al-Quran Guru Mursyid: Tafsir
Mursyid Sufisme Syaththariah
Menyangkut
Ayat ‘Inti’ dan ‘Kunci’
(2012).
Ia
pernah juga menulis buku
teks Pendidikan
Agama
Islam
untuk
SD, SMP, SMA; Islam
untuk Remaja SMP, Islam untuk Remaja SMA; menulis
naskah dan membuat skenario film pendidikan, menulis artikel di
jurnal (Ta`dib
– Fakultas Tarbiyah UNISBA,
Dakwah
– Fakultas Dakwah UNISBA,
Ta`lim
– Jurusan MKDU FPIPS UPI,
Sosio-Religi
– Jurusan MKDU FPIPS UPI,
Jurnal Dikti, Jurnal Disdik Provinsi Banten,
dan Alqalam – Jurnal IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten).
Ia
aktif
dalam kegiatan penelitian, antara lain: Studi SMA Unggulan di 5
Propinsi (2005), Corak Berpikir Keagamaan Mahasiswa Aktivis Islam
(2006,
2009),
Studi Kompetensi Guru MTs di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta
(2007), Studi Substansi Materi dan Metode PAI pada PTU se Indonesia
(2008), Studi Kompetensi Dosen dan Lembaga PAI pada PTU se Indonesia
(2009),
Penelitian untuk Disertasi: Insan Kamil Perspektif Ilmu Syaththariah
dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Umum (2008-2010), dan Pendidikan
Karakter Berdasarkan Best
Practice
di Pondok Pesantren Al-Inayah Banten (2011).
Ia
juga sebagai instruktur
diklat regional dan nasional, di Dinas
Pendidikan Provinsi Banten (2004 s.d. 2011, rata-rata 6 kali setiap
tahunnya), di berbagai kota di Jawa Barat, dan di beberapa kota di
Indonesia; juga nara
sumber dalam seminar nasional
di berbagai
kota di Indonesia
(Bandung, Solo, Malang, Bengkulu, Medan, Jambi, Banjarmasin,
Palangkaraya, dan Ambon).
Di
organisasi profesi turut membidani lahirnya Asosiasi Dosen Pendidikan
Agama Islam Indonesia (ADPISI), menduduki jabatan Sekretaris Jenderal
DPP ADPISI periode 2005-2010, dan turut membidani berdirinya ADPISI
di 18 provinsi se Indonesia (Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau,
Kalîmantan Selatan, Kalîmantan Tengah, Kalîmantan Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Bali, dan NTB).
Kemudian
tahun 2011 turut mendirikan Asosiasi Dosen dan Sarjana Pendidikan
Nilai Indonesia (ADSPENSI). Di jajaran Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
terpilih sebagai Sekretaris Jenderal untuk periode 2011-2016.
PENGALAMAN
DALAM PROYEK PENELITIAN
(
5 Tahun Terakhir )
|
|||||
Nama
Proyek
|
Pemberi
Dana
|
Judul
Penelitian
|
Jabatan
(Ketua/anggota)
|
Besar
Dana Rp.
|
Tahun
|
Program
Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas Nasional Bacth IV |
Direktorat
PPM Ditjen Dikti Depdiknas |
Studi
Realitas
dan Ekspektasi
terhadap
Rasio Dosen PAI – Mahasiswa PTU, Kompetensi Dosen PAI, dan
Kelembagaan PAI pada PTU di Indonesia
|
Ketua
|
100
juta
|
2009
|
Program
Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas Nasional Bacth IV |
Direktorat
PPM Ditjen Dikti Depdiknas |
Studi
Realitas
dan Ekspektasi
terhadap
Substansi Materi PAI, Metode Perkuliahan PAI, dan Bina Imtaq bagi
Mahasiswa PTU di NTB, NTT, dan Bali
|
Anggota
|
100
juta
|
2009
|
Program
Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas Nasional Bacth I |
Direktorat
PPM Ditjen Dikti Depdiknas |
Corak
Berfikir Agama Mahasiswa di Jawa Barat (Dari Corak Berfikir Agama
yang Eksklusif Hingga Inklusif dan Liberal)
|
Anggota
|
40
juta
|
2008
|
|
DIPA
2007 Direktorat DIKTIS Ditjen Pend. Islam
Depag
RI
|
|
Anggota
|
100
juta
|
2007
|
|
Ketua
|
||||
Program
Litbang Pendidikan Agama
|
DIPA
2005 Puslitbang Pend.Agama dan Keagamaan Balitbang Depag RI
|
Studi
Profil
Kompe-tensi
Guru
Agama
MTs di
10 Kota/ Kabupaten se Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta Dilihat
dari Latar Belakang Biografis Guru
|
Anggota
|
165
juta
|
2005
|
PENGALAMAN
PENELITIAN LAINNYA
(
5 Tahun Terakhir )
|
|||
Tahun
|
Judul
Penelitian
|
Jabatan
|
Sponsor/
Sumber
Dana
|
2011
|
Studi
Best
Practice
Pendidikan Karakter di Pesantren Salafiah Al-Inayah Kota Serang
|
Ketua
|
Sub-proyek
dari Ditjen Pend. Islam Kemenag RI
|
2010
|
Implikasi
Konsep Insan Kamil dalam Pendidikan Umum di Pondok Sufi Pondok
Modern Sumber Daya At-Taqwa
|
Promovendus
(Disertasi)
|
Mandiri
|
2008
|
Studi
Tarekat Syaththariyah Pandangan Guru Wasithah K.H. Muhammad
Munawwar Affandi Tanjunganom Nganjuk
|
Ketua
|
Yayasan
Lil-Muqorrobien Cabang Bandung
|
KARYA
TULIS ILMIAH
(
5 Tahun Terakhir )
|
A.
JURNAL TERAKREDITASI
No.
|
Nama-nama
Penulis
|
Judul
Tulisan
|
Nama
Jurnal
|
Kota
|
Bulan,
Tahun
|
1.
|
Munawar
Rahmat |
Martabat
Asy-Syaththar: Menciptakan Insan Kamil di Pondok Sufi Pondok
Modern Sumber Daya At-Taqwa Tanjunganom Nganjuk
|
JURNAL
AL-QALAM
IAIN
SMH Banten
Edisi
I Tahun 2010
ISSN:
1410-3222
ISSN:
1412-0992 |
Serang
|
2010
|
B.
JURNAL TIDAK TERAKREDITASI
No.
|
Nama-nama
Penulis
|
Judul
Tulisan
|
Nama
Jurnal
|
Kota
|
Bulan,
Tahun
|
1.
|
Munawar
Rahmat |
Peluang
dan Tantangan Pen-didikan Islam di Era Global: MAN Insan Cendekia
Tang-gerang dan SMA Pomosda Nganjuk sebagai Model |
TA`LIM
Volume 8
No.
1 Maret 2010
|
Bandung
|
1
Maret
2010
|
2
|
Munawar
Rahmat |
Membangun
Visi-Misi UPI sebagai Universitas
Pendidikan
yang Religius
|
TA`LIM
Volume 6
No.
1 Maret 2008
|
Bandung
|
1
Maret
2008
|
C.
BUKU
Nama-nama
Penulis
|
Judul
|
Tahun
Terbit
|
Munawar
Rahmat |
Tafsir Al-Quran Guru Mursyid: Tafsir Mursyid Sufisme Syaththariah Menyangkut Ayat ‘Inti’ dan ‘Kunci’ |
2012
|
Munawar
Rahmat |
Implementasi Pendidikan Akhlak dan Karakter di Lingkungan Sekolah dan Keluarga |
2011
|
Prof.
Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd. (Editor: Munawar
Rahmat) |
Filsafat dan Teosofat Akhlak |
2011
|
Munawar
Rahmat |
Pendidikan Insan Kamil di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (diangkat dari Disertasi) |
2010
|
Abdul
Somad
&
Munawar
Rahmat |
Melakukan Penelitian Tindakan Kelas Yang Mudah dan Praktis (Bahan Pelatihan PTK) |
2009
|
Munawar
Rahmat |
Menyamakan Persepsi tentang Islam |
2009
|
Munawar
Rahmat |
Membangun Pendidikan Islam |
2008
|
D.
PEMBICARA/PEMAKALAH DALAM SEMINAR NASIONAL DAN INTERNASIONAL
No.
|
Nama-nama
Penulis
|
Judul
Tulisan
|
Nama
Seminar
|
Kota
|
Tgl,
Bulan, Tahun
|
1.
|
Munawar
Rahmat |
Pendidikan
Akhlak dan Karakter Berlandaskan Al-Quran dan Hadits Perspektif
Sufisme (Tarekat) Syaththariah |
SEMINAR
NASIONAL: Membangun Karakter Muslim Berlandaskan Al-Quran dan
Hadits
|
Medan
|
17-12-2010
|
2.
|
Munawar
Rahmat |
Urgensi
Pendidikan Akhlak dan Karakter di Sekolah |
SEMINAR
NASIONAL: Urgensi Pendidikan Karakter di Abad 21 |
Binjai
|
16-12-
2010
|
3.
|
Munawar
Rahmat |
Pendidikan
Insan Kamil Perspektif KH Muhammad Munawwar Afandi Guru Wasithah
Ke-48 Ilmu (Tarekat) Syaththariah
|
Kongres
II ADPISI dan SEMINAR NASIONAL:
Membangun
Karakter Bangsa Berbasis Agama
|
Medan
|
02-10-
2010
|
4.
|
Munawar
Rahmat |
ARTIKEL
PENELITIAN:
Studi
Realitas
dan Ekspektasi
terhadap
Rasio Dosen PAI – Mahasiswa PTU, Kompetensi Dosen PAI, dan
Kelembagaan PAI pada PTU di Indonesia
|
Seminar
Hasil Pelaksanaan Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas
Nasional
|
Bandung
|
Desember,
2009
|
5.
|
Munawar
Rahmat |
ARTIKEL
PENELITIAN:
Studi
Harapan Pimpinan dan Mahasiswa PTU Terhadap Substansi Materi PAI
di 16 PTU se Indonesia
|
Workshop
Dosen Pendidikan Agama Islam di PTU
|
Jakarta
|
Oktober,
2007
|
6.
|
Shofjan
T, Syahidin, Munawar Rahmat |
ARTIKEL
PENELITIAN:
Studi
Profil
Kompetensi
Guru
Agama
MTs di
10 Kota/ Kab. se Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta Dilihat dari
Latar Belakang Biografis Guru
|
Seminar
Hasil Penelitian “Studi Ke Arah Pembakuan Standar Kompetensi
Guru Agama Islam dan Guru Keagamaan MTs
|
Jakarta
|
Oktober,
2005
|
7.
|
|
|
|
|
|
E.
PEMAKALAH
Tahun
|
Judul
|
Penyelenggara
|
2007
|
PELATIHAN
NASIONAL:
Ulama
dan Kualitas Umat
|
MUI/
DPW ADPISI
Kalimantan
Tengah
|
2007
|
PELATIHAN
NASIONAL:
Aplikasi
Metode Pendidikan Qurani dalam Pembe-lajaran di Sekolah dan
Perguruan Tinggi |
DPW
ADPISI Kalsel/ UNLAM, Banjarmasin
|
2007
|
SEMINAR
NASIONAL:
Problem
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
|
DPW
ADPISI Jatim/ Univ. Brawijaya
Malang
|
2007
|
WORKSHOP
NASIONAL DOSEN PAI:
Substansi
Materi Pendidikan Agama Islam Yang Diharapkan oleh Pimpinan dan
Mahasiwa Perguruan Tinggi Umum
|
Direktorat
DIKTIS
Ditjen
Pend. Islam
Depag
RI
|
2008
|
SEMINAR
NASIONAL:
Islam
dan Perlindungan Anak
|
Komite
Perlindungan Anak Sumut/ USU
|
2008
|
WORKSHOP
REGIONAL:
Membangun
Bengkulu sebagai Kota Pelajar |
PEMDA
Kota
Bengkulu
|
2008
|
SEMINAR
NASIONAL:
Peningkatan
Kualitas Pendidikan (Agama, Moralitas, Kecerdasan, dan Life
Skills) di Sekolah |
DPW
ADPISI Maluku/ IAIN Ambon
|
2008
|
SEMINAR NASIONAL: Satu abad kebangkitan nasional: Peluang dan Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi |
Jurusan
MKDU FPIPS UPI -
Sekretariat
Negara RI
|
2009
|
PELATIHAN
NASIONAL:
PTK
dan Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Sekolah dan Universits |
DPW
ADPISI Jambi/ Universitas Jambi
|
2009
|
WORKSHOP
REGIONAL:
Konsep
Sertifikasi Guru dan Implikasinya bagi Peningkatan Kualitas
Pendidikan
|
Dinas
Pendidikan Provinsi Banten
|
2-10-2010
|
SEMINAR
NASIONAL DOSEN PAI:
Konsep
Insan Kamil dan Manusia Sesat Perspektif
KH
Muhammad Munawwar Afandi Guru Wasithah
Ilmu
Syaththariah Tanjunganom Nganjuk
|
DPP
ADPISI – Direktorat Diktis Kementerian Agama RI, di Medan
|
17-12-2010
|
SEMINAR
NASIONAL:
Pendidikan
Karakter Berbasis Agama |
STKIP
Binjai, Sumatera Utara
|
18-12-2010
|
SEMINAR
NASIONAL:
Pendidikan
Akhlak dan Karakter Perspektif Sufisme (Tarekat) Syaththariah |
Universitas
Pembangunan Budi Luhur, Medan
|