Selasa, 07 Februari 2012

KONSEP INSAN KAMIL


IMPLIKASI KONSEP INSÂN KÂMIL DALAM PENDIDIKAN
UMUM DI PONDOK SUFI PONDOK MODERN
SUMBER DAYA AT-TAQWA

RINGKASAN DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk
Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan
dalam Bidang Pendidikan Umum/Nilai


Promovendus:
Munawar Rahmat


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM/NILAI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2010


ABSTRAK
Pendidikan merupakan proses memanusiakan-manusia. Insân kâmil (manusia sempurna) merupakan model manusia ideal yang dikehendaki oleh Islam. Studi terdahulu sudah banyak yang mengungkap konsep ini, tapi lebih merupakan sebuah wacana yang sulit diimplikasikan ke dalam pendidikan. Dengan menggunakan paradigma kualitatif, disertasi ini menggali konsep insân kâmil perspektif Ilmu Syaththariah di Pondok Sufi POMOSDA dan implikasinya terhadap pendidikan umum. Adapun pendekatan yang digunakan adalah studi kasus, grounded theory, social hermeuneutic, dan metode tafsir (Tafsir Wasithah dan Al-Qarafi), dengan responden KH Muhammad Munawwar Afandi, Guru Wasithah Syaththariah ke-48 sebagai elite respondent.
Studi ini menemukan dua hal: Pertama, Guru Wasithah mengharuskan manusia bersifat jabbari-aktif, yakni harus selalu bergantung kepada Tuhan dan pasrah bongkokan kepada Guru Wasithah, bagai malaikat muqorrobûn kal mayyiti baena yadil ghosili (seperti mayat yang rela disucikan oleh orang yang berhak memandikannya), yakni selalu bersungguh-sungguh menjalankan Dawuh Guru. Insân kâmil adalah hamba Allah yang telah ditarik oleh fadlol (karunia) dan rahmatNya, karena kesungguhannya dalam menjalankan Islam kâffâh, yakni menggabungkan syare’at dan hakekat dengan bimbingan Guru Wasithah hingga mencapai fana` Dzat. Pada hirarki tujuh tangga nafsu, insân kâmil merupakan hamba Allah yang telah mencapai tangga nafsu tertinggi (nafsu kamilah) sebagai buah dari kesungguhannya dalam menjalankan Dawuh Guru. Kedua, proses untuk mencapai martabat insân kâmil melalui enam tahapan, yakni: meminta di-bai’at atau di-talqin zikir kepada Guru, setia dengan sumpah dan janji, menjalankan lakon (ibadah) dan pitukon (amal sosial) sesuai Dawuh Guru (disertai hati, roh, dan rasa yang selalu mengingat-ingat Zat Tuhan Yang Al-Ghaib), menjalankan 10 dasar agama (taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal `alallah, mulazimatu dzikr, tawajjuh ilallahi bilkulliyati, muroqobah, dan ridlo), menghindari empat bencana amal bagai api yang memakan habis kayu kering (takabbur, ujub, riya, dan sum`ah), dan jihad akbar (melalui proses takholli, tahalli, dan tajalli).

Kata kunci: Ilmu Syaththariah, Guru Wasithah, Zat Tuhan Yang Al-Ghaib, haqîqotul insân, Martabat Tujuh, tujuh tangga nafsu, insân kâmil, manusia sesat, pendidikan umum


ABSTRACT
IMPLICATION OF THE CONCEPT INSÂN KÂMIL IN GENERAL
EDUCATION IN PONDOK SUFI POMOSDA
Munawar Rahmat
Education is the process of humanizing human. Insân kâmil (the perfect human) is the ideal human model desired by Islam. Previous studies have explored much about the concept of insân kâmil; these studies, however, tend to view the concept as a discourse that is difficult to implement in education. This dissertation has explored the concept of insân kâmil in the perspective of Syaththariah Sufism, along with its implications for general education. The study is qualitative in nature, adopting case study, grounded theory, social hermeuneutics, and Qur`anic hermeneutics as its approaches and KH Muhammad Munawwar Affandi, who is the 48th Wasithah (duty of God) of Syaththariah Sufism, being the elite respondent.
This study has yielded the following: first, Wasithah requires that humans be active determinists, i.e. they must  always depend on God and be willing to surrender to Wasithah and whole heartedly obey his every instruction, just like the angels who are always obedient to God. Insân kâmil refers to human beings who have been blessed with Grace and Mercy of God because of their total submission to Islam, i.e. incorporating syare`at and hakekat under the supervision of Wasithah. In the hierarchy of the seven steps of lust, insân kâmil have reached the highest one (perfect lust) due to their sincerity in carrying out instructions from Wasithah. Second, the process of reaching insân kâmil involves six stages, namely: asking for initiation; being faithful to the oath and pledge; performing worship and social charity as instructed by Wasithah (with their hearts, spirits, and senses always remembering The Unseen); implementing the 10 foundations of Islam (taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal `alallah, mulazimatu dzikr, tawajjuh ilallahi bilkulliyati, muroqobah, and ridlo); avoiding the four charity-related disasters, which is associated with fire that burns up dry wood (being arrogant or takabur, boastful or ujub, showing off  charity or riya, and finding others’ weaknesses or sum’ah); and fighting their own lust (jihad akbar) through a process of emptying oneself (takholli), adorning self with an exemplary character (tahalli), and showing manifestation of God (tajalli).

Keywords: Syaththariah Sufism, Wasithah, Unseen as a substance of God, human nature, The Seven Dignity, the seven steps of lust, Insân Kâmil, humans going astray, general education


A. PENDAHULUAN
Insân Kâmil (manusia sempurna) merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh Islam. Insân Kâmil bukanlah salah satu pilihan, melainkan satu-satunya pilihan hidup bagi orang yang ingin kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan selamat (masuk surga-Nya). Jika tidak memilih untuk menjadi Insân Kâmil, maka pilihan lainnya hanyalah ‘manusia sesat’ (masuk neraka-Nya) atau ‘manusia in between’ (mungkin, dengan fadlol dan rahmat Allâh, ditarik ke surga-Nya, dihindarkan dari neraka-Nya, atau tetap dimasuk-kan ke neraka-Nya). Artinya, jika ingin masuk surga-Nya Allâh haruslah menjadi Insân Kâmil.
Berbicara tentang Insân Kâmil berarti berbicara tentang konsep manusia perspektif Islam. Tema ini begitu kompleks dan rumit, sekomplek dan serumit dimensi-dimensi dan misteri-misteri unsur batin (qolbu atau ruhani) manusia. Begitu seorang filosof dan Sufi melontarkan konsepnya tentang manusia, pada saat yang hampir bersamaan muncul kritik tajam dari para filosof dan sufi lainnya. Pembicaraan paling mendalam tentang unsur ruhani dalam dunia Islam dikaji oleh tasawuf dan tarekat. Tetapi dalam disiplin ini pun terdapat perbedaan-perbedaan. Para Sufi dan Mursyid Tarekat memiliki pandangan yang berbeda-beda pula. Rahardjo (1987) telah menyunting Insân Kâmil perspektif 9 (sembilan) orang tokoh Dunia. Kemudian telah banyak pula disertasi yang mengupas masalah ini, seperti: Konsep Manusia dan Tuhan Perspektif Nuruddîn Ar-Raniry (Daudi, 1982), Konsep Sembah dan Budi Perspektif Mangkunegoro IV (Ardani, 1985), Syekh Yusuf Makassar (Hamid, 1994), dan Tasawuf Syekh Muhyi (Yahya, 2003).
Persoalannya, konsep Insân Kâmil perspektif Sufi terdahulu sulit untuk diamalkan dan diimplikasikan ke dalam dunia pendidikan, karena dua hal: Pertama, konsepnya tidak bisa dikonfirmasi (karena sang tokoh Sufi telah meninggal dunia). Kedua, konsepnya itu belum tentu benar konsep sang tokoh Sufi, melainkan konsep sang tokoh Sufi perspektif peneliti/penulis. Terlebih-lebih jika karya sang tokoh Sufi itu diragukan keasliannya.
Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini, bagaimanakah implikasi konsep Insân Kâmil dalam pendidikan umum di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (Pondok Sufi POMOSDA).
Dengan menggunakan paradigma penelitian kualitatif, disertasi ini menggali konsep insân kâmil perspektif Ilmu Syaththariah dan implikasinya terhadap pendidikan umum di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (Pondok Sufi POMOSDA). Pendekatan yang digunakan yakni studi kasus dan grounded theory (Alwasilah, 2008), sedangkan analisisnya menggunakan pendekatan social hermeuneutic dan metode tafsir (Tafsir Wasithah dan Al-Qarafi), dengan responden KH Muhammad Munawwar Afandi, Guru Wasithah Ilmu Syaththariah ke-48 sebagai elite respondent, yang berkedudukan di Pondok Sufi POMOSDA, Tanjunganom Nganjuk Jawa Timur.

B. TEORI INSÂN KÂMIL DAN PENDIDIKAN UMUM
1. Teori Insân Kâmil
Semua Sufi dan Filosof muslim mendasarkan konsepnya tentang insân kâmil pada Al-Quran dan hadits Nabi SAW. Kosa-kata yang bermakna ‘manusia yang tertentu’ dalam Al-Quran cukup banyak, dan term yang paling banyak diungkap dalam Al-Quran adalah: basyar, al-insân, an-nâs; mu`min dan muttaqîn; musyrik, kâfir, munâfiq, fâsiq; dan term Rasûlullah.
Term-term manusia dalam Al-Quran berhubungan dengan keberagamaan. Secara umum manusia memiliki kecenderungan yang positif dan negatif, yakni beragama secara benar (sesuai dengan Kehendak Allâh) atau sesat (menuruti nafsu dan jejak iblis). Sebagian manusia dipuji oleh Tuhan karena mereka berîman, bertakwa, ikhlas, sabar, tawakkal, pandai bersyukur, dan memiliki nafsu muthmainnah. Tipe manusia inilah yang potensial dapat mencapai martabat insân kâmil.
Kehendak Allâh sebenarnya manusia itu supaya memiliki kecenderungan positif. Tetapi sungguh sangat mengagetkan, dan ini justru mengingatkan para pembaca Al-Quran supaya lebih berhati-hati, ternyata term-term manusia dalam Al-Quran lebih cenderung negatif (kebanyakan: kâfir, musyrik, munafiq, fâsiq, sesat, zalim, bodoh, penantang yang paling keras, tukang membantah, tidak pandai bersyukur, tergesa-gesa, tidak tahu agama yang benar, merasa berîman – padahal îmannya tidak sejalan dengan Kehendak Tuhan). Sebabnya, karena manusia cenderung menuruti nafsu dan jejak iblis yang enggan sujud (taat, patuh, itba`) kepada khalifahNya Allâh di bumi. Manusia kebanyakan menolak RasûlNya Allâh, menghinakannya, bahkan tidak segan-segan membunuhnya, karena – sebagaimana iblis – abâ was-takbaro (sombong dan takabur) dan anâ khoirun minhu (aku lebih baik daripada RasûlNya Allâh). Mereka memandang Rasûl itu dari sudut penampilannya (rasnya, status sosial-ekonominya, pendidikannya, dan penampilan lahiriah lainnya). Akibatnya, manusia divonis ‘sesat’ oleh Allah karena mereka beragama dengan mengikuti keberagamaan mayoritas, agama leluhur, puas dengan hasil pemikirannya sendiri, atau mengikuti tokoh idola; ujung-ujungnya mempertuhankan nafsu dan mengikuti jalan iblis, mengabai-kan RasûlNya yang selalu ada di tengah-tengah umat, gengsi bertanya kepada ahladz dzikri, dan enggan meneladani Rasûl-Nya.
Syekh Fadlullah (Gujarat) dalam Martabat Tujuh menguraikan proses tanazul (turun) Tuhan agar terjangkau oleh manusia. Menurut Armstrong (1995: 280), ajaran Martabat Tujuh merupakan konsepsi yang berhubungan dengan tajallî Allâh (penyingkapan Diri Tuhan kepada makhluk-Nya) dalam proses penciptaan alam semesta dan manusia. Ternyata proses tanazul Tuhan serendah-rendahnya pada martabat insân kâmil. Kitâb ini merupakan ajaran utama untuk memahami tauhid wihdatusy syuhûd (=”menyaksikan” Tuhan), yakni melalui pancaran cahaya dari insân kâmil (KhalifahNya atau RasûlNya). Artinya, jika ingin mencapai martabat insân kâmil, maka manusia haruslah memperoleh pancaran RasûlNya, karena dia sebagai insân kâmil mukammil (insân kâmil yang dapat membimbing manusia untuk mencapai martabat insân kâmil). Ajaran Martabat Tujuh ini pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Syekh Abdurra`uf Sinkili (Aceh) dan dibawa ke Jawa oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya), yang kemudian tersebar luas di kalangan Ulama Nusantara abad XVII-XVIII Masehi (Yahya, 2007: 69). Simuh (1996: 308) mengemukakan bahwa paham Martabat Tujuh yang dibawa Syekh Abdul Muhyi pada abad XVII Masehi diserap oleh beberapa buku sufistik Islam Jawa, seperti: Sekar Macapat, Serat Centini, dan Wirid Hidayat Jati.
Jalan untuk mencapai martabat insân kâmil haruslah mengikuti jalan Sufi. Syarat pertamanya harus berîman dan berniat berproses menuju martabat insân kâmil. Tetapi jalannya harus mengikuti Sufi, yakni shirôthol mustaqîm; bukan jalan-jalan yang lain. Adapun Jihâd Akbar (jihad menundukkan nafsu dan syahwat) merupakan jalan utama yang ditempuh para Sufi. Imam Ghazali (1333 H: 4) menguraikan tujuh tangga nafsu, yaitu: amarah, lawwamah, mulhimah, muthmainnah, rodliyah, mardliyah, dan kâmilah. Tampaknya, upaya menundukkan nafsu itu haruslah dengan menaiki ketujuh tangga nafsu itu hingga mencapai nafsu kâmilah. Tetapi, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Araby, haruslah mendapat pancaran cahaya dari RasûlNya. Jika tidak dengan cara begitu (selain insân kâmil) hanyalah sebagai manusia binatang atau monster setengah manusia. Manusia ini bisa mencapai kesempurnaan dirinya sebagai manusia, jika ia menanggalkan kebinatangannya, kemudian mengembangkan dirinya untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia. (Ibn Araby, dalam Takeshita, 2005: 131-133).

2. Teori Pendidikan Umum
Pendidikan umum (di Barat) merupakan: gagasan-gagasan fundamental yang sama, yakni kebajikan-kebajikan intelektual (Hunchins); makna-makna yang esensial (Phenix), yang secara operasional diarahkan untuk mengembangkan peserta didik menjadi warga negara yang baik (good citizenship) dan mampu berkomunikasi secara baik dengan sesama (Nelson). Tetapi di Indonesia bukan sekedar demikian, melainkan sebagai manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, walau dalam prakteknya tidak jauh berbeda dengan di Barat, lebih dipengaruhi oleh budaya Hellenisme (Suriasoemantri, 1982; Sanusi, 1994; Soemantri, 2001).
Naquib al-Atas (Daud, 2003: 221-225) mengingatkan tentang istilah universitas (universum) sebagai padanan dari kata kulliyah. Penggunaan istilah ini sangat erat hubungannya dengan konsep al-insân al-kulli (manusia universal) atau insân kâmil (manusia sempurna) yang merupakan ideal wujud manusia menurut agama Islam. Insân kâmil adalah manusia yang mampu mengenali dan mengakui tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu, termasuk dirinya, dalam tatanan sedemikian rupa sehingga membimbingnya ke arah pengenalan dan pengakuan yang benar dari Allâh dalam tatanan wujud dan eksistensi. Jadi, menurut konsep ini, universitas harus melayani tujuan penciptaan manusia (yang diharapkan mencapai martabat insân kâmil), bukan sekedar warga negara yang baik sebagaimana di negara sekuler. Universitas modern sekarang ini ditujukan untuk mencetak pekerja-pekerja yang baik dalam rangka melayani program-program negara yang berorientasi semata-semata kebutuhan material (ekonomistik). Lulusan universitas hanyalah orang-orang yang menguasai keterampilan-keterampilan (know how), tetetapi tidak mengenal tujuan hidupnya secara keseluruhan (know why). Spesialisasi dalam konteks ini adalah representasi utama dari universitas modern. Dengan demikian, produk universitas modern bukan lagi al-insân al-kulli atau insân kâmil, melainkan al-insân al-juz`i yang terpecah-pecah, yang tidak mampu mengenali diri dan lingkungannya dalam suatu keseluruhan.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA
1. Konsep dan Proses Menuju Martabat Insân Kâmil
Insân kâmil adalah hamba Allâh yang mengamalkan Islam kâffah (total) secara maksimal, yakni memenuhi perintah Allâh udkhulû fî silmin kâffah (Qs. 2/Al-Baqarah ayat 208). Menurut Ilmu Syaththariah memasuki Islam secara kâffah adalah dengan meng-Islamkan seluruh unsur manusia, yakni menjalankan syare`at dan hakekat. Allâh SWT mewanti-wanti “janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan”, karena syetan berkehendak agar orang Islam cukup menjalankan syare`at saja atau hakekat saja. Kemudian ditegaskan pula bahwa “syetan itu musuh yang nyata bagi manusia”. Artinya, syetan itu (baik dari bangsa jin ataupun bangsa manusia) membelokkan manusia dari kehendak Tuhan.
Menurut Ilmu Syaththariah, manusia terdiri dari empat unsur, yakni: raga, hati (hati sanubari atau hati nurani), roh, dan rasa. Pandangan ini sejalan dengan Al-Qusyairi yang mengemukakan adanya tiga alat dalam tubuh manusia dalam hubungannya dengan Allâh, yakni qolb yang berfungsi untuk mengetahui Sifat-sifat Allâh, ruh yang berfungsi untuk mencintai Allâh, dan sirr yang berfungsi untuk melihat Allâh (Praja, 1990: 149-150). Kemudian Sufi Jawa seperti Pangeran Mangkunegoro IV (1811–1881 M) secara tersirat mengemukakan adanya empat unsur manusia. Dalam Serat-serat Piwulang, ia mengungkapkan adanya empat macam sembah (ibadah), yakni: sembah raga (=ibadah raga), sembah cipta (=ibadah hati), sembah jiwa (=ibadah roh), dan sembah rasa (=ibadah rasa). (Ardani, 1995: 56, 68, 84, 94).
Bagi kebanyakan orang adanya empat unsur manusia ini tentu terasa asing karena umumnya Filosof dan Sufi hanya mengemukakan adanya dua unsur, jasmani dan ruhani (batin, hati, jiwa) dengan penegasan unsur ruhani inilah yang membedakan manusia dari binatang. (Praja, 1987: 165-178). Tetapi para Sufi menjabarkan unsur batin kepada beberapa sub-unsur. Imam Ghazali, misalnya, menguraikannya kepada lima sub-unsur: ruh, qolb (hati), `aql (akal), nafs (nafsu), dan hasrat. Untuk kajian filsafat, Al-Ghazali menggunakan istilah nafs, ruh, dan `aql, tetapi untuk kajian tasawuf dia gunakan istilah qolb. (Takeshita, 2005: 112-113).
Perspektif Ilmu Syaththariah, Islamnya raga adalah dengan menjalankan syare`at, sedangkan Islamnya hati, roh, dan rasa adalah dengan menjalankan hakekat. Atau secara lebih rinci: hati menjalankan tarekat, ruh ngambah hakekat, dan rasa mencapai ma`rifat bi Dzâtillâh hingga fana` Zat.
. Raga merupakan barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah (kulit), air (tulang), api (daging), dan udara (darah). Hati terdiri dari dua jenis, yakni hati sanubari dan hati nurani. Kedua hati letaknya dalam dada manusia. Hati sanubari, letaknya dalam ati-ampela (dua jari di bawah rusuk kiri), adalah hati yang gelap gulita (tidak kenal Tuhan, berwatak bangsa hewan, dan sejalan dengan iblis). Adapun hati nurani, letaknya dalam hati-jantung (yang berbunyi deg-deg, di tengah-tengah dada), adalah hati yang memperoleh Cahaya Ilahi (kenal Tuhan, berwatak seperti malaikat muqorrobun yang rela sujud/taat kepada Wakil-Nya Tuhan di bumi, yakni Rasûlullah, dan selalu ingat Tuhan). Roh, letaknya dalam hati-nurani (artinya, hati-nurani merupakan bungkus roh), adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Adapun rasa (sirr), letaknya pada kedalaman roh yang ketujuh. Unsur rasa inilah yang merupakan jati-diri manusia (fitrah manusia) yang Dicipta Tuhan dari Jati-DiriNya (Fitrah-Nya), sebagaimana firmanNya dalam Qs. 30/Ar-Rum ayat 30: fithrotallâhil latî fathoron nâsa alaihâ. Pada unsur rasa ini pula adanya lubang cahaya (minhâj) yang tembus kepada Tuhan, yakni lubang cahaya yang menghubungkan jati-diri manusia dengan Jati-Diri Tuhan, sebagaimana firmanNya dalam Qs. 5/Al-Maidah ayat 48: likulli ja’alnâ minkum syir`atan wa minhâjâ.
Hakekat manusia menurut Ilmu Syaththariah adalah unsur rasa-nya itu. Insân kâmil adalah manusia yang jati-dirinya kembali kepada Jati-Diri Tuhan (melalui lubang cahaya itu). Tetapi untuk mencapai martabat rasa, yakni untuk dapat kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia, tidak ada jalan lain kecuali menjalankan Islam secara kâffah (total), yakni menjalankan syare`at dan hakekat.
Menurut Ilmu Syaththariah, unsur manusia yang merupakan barang pinjaman (bukan jati-dirinya) harus kembali ke asalnya masing-masing. Cara mengembalikannya dan mengokohkan jati-dirinya adalah dengan menjalankan syare`at dan hakekat itu. Makanya, raga harus bosok (kembali ke asalnya masing-masing: kulit kembali menjadi tanah, tulang kembali menjadi air, daging kembali menjadi api, dan darah kembali menjadi udara), yakni dengan menjalankan syare`at (segala peribadatan yang dijalankan oleh raga, terutama Rukun Islam dan akhlaqul karimah); hati sanubari harus ditundukkan agar dapat dijadikan tunggangannya hati nurani, roh, dan rasa, sehingga hati adam (menafikan wujud diri dan dunianya), yakni dengan menjalankan tarekat (hanya mengingat-ingat Zat Tuhan Yang Al-Ghaib); roh sirna (roh adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Karena barang pinjaman milik Tuhan, makanya roh sirna kembali kepada Tuhan), yakni dengan ngambah hakekat (merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya, Yang Punya Kekuatan, dan Yang Wujud hanyalah Zat Yang Al-Ghaib); dan yang kekal-abadi (yang tertinggal) hanyalah jati-dirinya, rasa-nya (sirr-nya), yakni mencapai ma`rifat bi Dzâtillâh hingga fana` Zat. Pandangan Ilmu Syaththariah ini didasarkan pada Qs. 55/Ar-Rahman ayat 26-27: kullu man alaihâ fânin, wa yabqô wajhu robbika dzul jalâli wal ikrôm (=Semua yang ada di bumi itu (termasuk jiwa-raga manusia) akan binasa. Dan tetap kekal Dzât Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan).
Jati-diri manusia karena berasal dari Jati-Diri Tuhan, maka akan tetap Kekal, tidak akan binasa. Hanya saja kekalnya jati-diri manusia ada dua macam: pertama, yang kembali dan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan senang dan bahagia selama-lamanya di sisi Raja Diraja Yang Berkuasa (bagi manusia yang mencapai martabat insân kâmil); dan kedua, yang kembali ke tempat sesat yang Tuhan sediakan dalam keadaan susah dan sengsara selama-lamanya (bagi manusia yang sesat, masuk neraka-Nya).
Menurut Ilmu Syaththariah manusia jenis pertama ini (mencapai martabat insân kâmil) sangat sedikit, sedangkan jenis kedua sangat banyak, sesuai firman Allâh dalam Al-Quran: fa qolîlan mâ yu`minûn =maka sedikit sekali mereka yang berîman (Qs. 2/Al-Baqarah: 88; 69/Al-Haqqah: 41), Innâ akromakun `indallâhi atqôkum =Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allâh adalah orang yang paling bertakwa (Qs. 40/Al-Hujurat: 13), padahal untuk mencapai ketakwaan terlebih dahulu harus berîman; dan ... illâ ‘ibâdaka minhumul mukhlashîn =kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka, yang tidak akan tersentuh oleh iblis (Qs. 15/Al-Hijr: 40). Jika orang yang berîman saja sedikit terlebih-lebih lagi mereka yang bertakwa, dan terlebih-lebih lagi mereka yang ikhlas tentu lebih sedikit lagi; demikian juga asy-Syakûr (manusia yang bersyukur) hanya sedikit, sebagaimana firmanNya qolîlan mâ tasykurûn =hanya sedikit manusia yang bersyukur (Qs. 7/Al-A`raf: 10; 23/Al-Mu`minun: 78; 32/As-Sajdah: 9; 67/al-Mulk: 23).
Dengan menggunakan tujuh tangga nafsu (amarah, lawwamah, mulhimah, muthmainnah, rodliyah, mardliyah, dan kâmilah), maka insân kâmil – dilihat dari tingkatan nafsunya – adalah hamba Allâh yang mukhlish dan telah mencapai nafsu kâmilah (nafsu yang sempurna). Hamba Allâh yang mukhlish adalah hamba Allâh yang telah melampaui tingkatan muttaqîn (bertakwa). Hamba ini selain memiliki ciri-ciri muttaqîn, juga kalau berkorban ia tidak merasa telah berkorban, kalau berinfak tidak merasa telah berinfak, kalau ber-mujâhadah tidak merasa telah melakukan mujâhadah ; diuji dengan senang biasa-biasa saja (tidak merasakan senang), diuji dengan susah biasa-biasa juga (tidak merasakan susah). Bagi mereka yang mukhlish tidak ada bedanya dikayakan atau dimiskinkan, disehatkan atau disakitkan, dan lain sebagainya. Pokoknya ia sudah benar-benar seperti mayat yang rela disucikan oleh yang berhak mensucikannya, yakni tunduk patuh sepenuhnya kepada perintahnya Guru yang hak dan sah. Sebagaimana para malaikatNya Allâh, hamba Allâh yang mukhlish telah benar-benar membunuh nafsunya sendiri hingga tunduk dan patuh dijadikan tunggangannya hati-nurani, roh, dan rasa untuk pulang kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan selamat.
Untuk memperkokoh konsep insân kâmil, kajian ini akan dilengkapi dengan proses tanazul Tuhan sejak DiriNya masih sendirian (belum menciptakan makhluk) hingga terciptanya insân kâmil dalam Martabat Tujuh-nya Syekh Fadldullah (yang melalui tujuh tangga turun). Kemudian disajikan pula proses taroqi (naiknya) hamba untuk mencapai insân kâmil yang harus melalui tujuh tangga naik (melalui tujuh tangga nafsu).
Proses tanazul Tuhan (untuk dapat didekati oleh makhluknya yang berbangsa manusia) melalui tujuh tangga turun, sebagai berikut:
  1. Martabat Ahadiyat = Zat Tuhan Yang Al-Ghaib (ketika masih sendirian)
  2. Martabat Wahdat = Cahaya TerpujiNya Zat Tuhan = Nur Muhammad
  3. Martabat Wâhidiyat =Fitrah manusia =hakekatul insân =unsur Rasa (Sirr)
  4. Alam Arwah =Daya dan Kekuatan Tuhan yang ditiupkan ke raga manusia
  5. Alam Mitsal = Struktur yang lembut dari Hati Nurani dan akal budi
  6. Alam Ajsam = unsur Raga manusia
  7. Insân Kâmil = Pertama, para Rasûl dan para Nabi atau Guru Wasithah sebagai insân kâmil mukammil (=insân kâmil yang membimbing manusia untuk mencapai insân kâmil), Kedua, para Wali dan orang-orang mu`min, yakni insân kâmil yang disempurnakan oleh Nabi atau Rasûl (Guru Wasithah), bagaikan matahari yang memancarkan cahayanya kepada bulan, sehingga bulan dapat menerangi bumi.
Jadi, proses tanazul Tuhan itu serendah-rendahnya martabat Insân Kâmil, karena Tuhan Maha Suci. Artinya, bagi para hamba Allâh yang ingin mendekati Tuhan hingga sampai dengan selamat haruslah melakukan Jihad Akbar hingga mencapai martabat insân kâmil. Adapun untuk mencapai martabat yang suci ini, maka manusia yang sudah berwujud jiwa-raga (yang hidup di dunia ini) haruslah melalui proses taroqi, yakni menaiki (menunduk-kan) tujuh tangga nafsu berikut:
1)
Nafsu Amarah
=
Sombong, iri-dengki, dendam, nuruti nafsu, serakah, jor-joran, senang marah, pembenci, tidak tahu kewajiban, akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhan
2)
Nafsu Lawwamah
=
Enggan, cuek, senang memuji diri, pamer, dusta, mencari `aib orang, senang menyakiti, dan pura-pura tidak tahu kewajiban



3)
Nafsu Mulhimah
=
Suka memberi, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, taubat, sabar, tahan menghadapi kesulitan, dan siap menanggung betapa beratnya menjalankan kewajiban




4)
Nafsu Muthmainnah
=
Senang beribadah, senang sodaqoh, mensyukuri nikmat dengan memperbanyak amal, tawakkal, ridlo dengan ketentuan Allâh, dan takut kepada Allâh




5)
Nafsu Rodliyah
=
Pribadi yang mulia, zuhud, lkhlas, wira`i, riyadlah, dan menepati janji




6)
Nafsu Mardliyah
=
Bagusnya budi pekerti, bersih dari segala dosa makhluk, rela menghilangkan kegelapannya makhluk, dan senang mengajak serta memberi pepadang kepada roh-nya makhluk




7)
Nafsu Kâmilah
=
`Ilmul-yaqîn, `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn


Untuk mencapai martabat insân kâmil, maka nafsu kita seharusnya berada di level-7 (nafsu kâmilah), tetapi jangan ‘diaku’. Jangan ‘diaku’ punya `ilmul-yaqîn, `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn. Kalau ‘diaku’ tetap saja nafsu yang dalam Qs. 12/Yusuf ayat 53 disebutkan sebagai: innan nafsa la ammarôtun bissû`i (=karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan). Artinya, nafsu kâmilah sekalipun akan dinilai Tuhan sebagai nafsu yang buruk (yang bisa mengantarkannya ke neraka); illâ mâ rohima robbî (kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku). Nafsu yang dirahmati Tuhan adalah nafsu yang bagus-bagus (mulhimah, muthmainnah, Rodliyah, mardliyah, dan kâmilah) sebagai proses taroqi atas perintahnya Guru Wasithah, bukannya yang di-’aku’sebagai prestasi mujâhadah, riyadloh dan riyalat-nya.

Tetapi dengan welas asih dan pertolongan Allâh, untuk dapat kembali kepada DiriNya hingga sampai dengan selamat – asalkan me-nafi-kan daya, kekuatan, dan wujud diri dan dunianya serta hanya meng-itsbat-kan DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib dalam rasa hatinya – maka dengan nafsu muthmainnah saja (level-4) yang disandarkan atas perintahnya Guru Wasithah sudah cukup mengantarkan jati-dirinya kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia. Tingkatan nafsu kâmilah dapat dicapai setelah dirinya meninggalkan dunia yang fana` ini. Dalam Qs. 89/Al-Fajr ayat 27-30 Allâh SWT berfirman:

Wahai nafsu muthmainnah (=jiwa yang tenang). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (=nafsu rodliyah) lagi diridloi-Nya (=nafsu mardliyah). Maka masuklah ke dalam (jama'ah) hamba-hamba-Ku (=nafsu kâmilah); dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Misalkan keberagamaan seseorang berada pada kondisi senang beribadah, suka memberi, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, taubat (selalu merasakan banyak dosa dan kesalahan sehingga terus-menerus bertobat), sabar dan tahan menghadapi kesulitan, serta siap menanggung betapa beratnya menjalankan kewajiban. Artinya tingkatan nafsunya berada di level-3 (nafsu mulhimah). Jika ingin bertemu dengan Tuhan, ingin dipanggil olehNya untuk kembali kepadaNya (karena innâ lillâhi wa innâ ilaihîi rôji’ûn =kita berasal dari Allâh dan kembali kepadaNya), maka orang itu harus meningkatkan keberagamaannya, serendah-rendahnya dalam kondisi: senang beribadah, senang sodaqoh, mensyukuri nikmat dengan memperbanyak amal, tawakkal (menyerahkan segala urusan/mewakilkannya kepada Allâh, sehingga nafsu dan akal kita tidak diperankan lagi), ridlo dengan ketentuan Allâh (diuji dengan yang susah ataupun senang), dan takut kepada Allâh. Atau harus naik ke level-4 (nafsu muthmainnah).
Insân kâmil adalah pribadi yang berkembang keempat unsur manusia-nya (raga, hati, roh, dan rasa) secara sempurna sesuai dengan Kehendak Tuhan, yang disandarkan atas perintah Guru, agar jati-dirinya yang berasal dari Tuhan dapat kembali lagi kepada Tuhan. Bagaimanakah mengembangkannya?
Syarat utama insân kâmil adalah raja dalam dirinya adalah hati nurani, bukan hati sanubari. Jika rajanya hati nurani maka raga akan mengamalkan syareat, seperti membaca dua kalimat syahâdat, mengerjakan shalat lima waktu, shalat malam dan shalat-shalat yang menyertai shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadlan dan puasa-puasa sunat, membayar kifarat, zakat, infak, shodaqoh, jariyyah, dan ibadah harta lainnya, hidup guyub rukun dengan sesama, hingga peduli terhadap lingkungan, yang pada pokoknya adalah semua peribadatan yang dilakukan oleh raga sebagaimana Dawuh Guru (Wasithah).
Kemudian hati menjalankan tarekat, yakni hanya mengingat-ingat DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib (Isi-Nya , yang dibisikkan oleh Guru Wasithah saat inisiasi, pemberkatan). Lalu roh ngambah (mencapai) hakekat, yakni merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan Punya Kekuatan hanyalah DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib (Isi-Nya ). Terakhir, rasa (sirr) mencapai ma`rifat, yakni merasa-rasakan bahwa yang benar-benar Wujud hanyalah DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib Yang Wajib WujudNya, Allâh AsmaNya (Isi-Nya ). Orang yang telah mencapai martabat rasa ini akan mengalami fana` fillâh (leburnya aku kepada Sang Maha Aku). Prosesnya, mula-mula fana` af`al (perbuatan), kemudian fana` sifat, dan terakhir fana` Zat.

Mungkin di dunia ini hanya segelintir orang yang sudah mencapai fana` Zat, yakni para Nabi, para Rasûl, dan para Wali Kekasih Allâh. Orang-orang mu`min hanya mencapai fana` af`al dan fana` sifat, tetapi mungkin saja mencapai fana` Zat dalam sekejap (hitungan detik atau menit). Tetapi di âkhirat, semua orang yang mati selamat akan mencapai fana` zat (mencapai martabat insân kâmil). Jika dihubungkan dengan tujuh tingkatan nafsu, maka start awal untuk menuju martabat insân kâmil haruslah menjadi hamba Allâh yang bertakwa dan telah mencapai tingkatan nafsu muthmainnah; selanjutnya, ditarik oleh fadlol dan rahmat-Nya, mencapai tangga nafsu di atasnya (rodliyah, mardliyah, hingga kâmilah).
Adapun proses salik menuju martabat insân kâmil sungguh sangat jauh dan melelahkan. Jika bukan karena fadlol dan rahmat Allâh, maka tidak akan ada yang sampai kecuali hamba-hamba yang dijadikan pilihan dan kekasihNya.
Namun demikian ada sejumlah tahapan sebagai proses menuju martabat insân kâmil, yakni: (a) meminta petunjuk Ilmu Syaththariah/ Ilmu Nubuwah (di-bai’at atau di-talqin zikir), (b) bersedia disumpah dan dijanji, (c) melakukan lakon (mujâhadah shalat fardlu-qodlo-sunat, zikir, aurad, do’a memohon dibukakan pintu hidayah-Nya, do’a tolak-bala`, sujud syukur, serta Mujâhadah Puji Wali Kutub dan Mujâhadah Asma Sanga) dan melakukan pitukon (ibadah harta, amal sosial, dan kerja profesional demi subhânaKa – Memahasucikan Tuhan, (d) menjalankan 10 dasar agama (taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal `alallâh, mulazimatu dzikr, tawajjuh ilallâhi bilkulliyati, muroqobah, dan ridlo), (e) menghindari empat bencana amal bagai api yang memakan habis kayu kering (takabbur, ujub, riya, dan sum`ah), dan (f) Jihâd Akbar untuk menghadapi ujian hidup (melalui proses takholli, tahalli, dan tajalli) hingga mencapai fana` Zat.

2. Implikasi Konsep Insân Kâmil dalam Pendidikan Umum
Pelaksanaan pendidikan insân kâmil di Pondok Sufi POMOSDA sesuai dengan yang direncanakan, baik menyangkut pengadaan ustad, substansi materi atau core curriculum, maupun kriteria atau tahapan santri yang potensial dibimbing untuk mencapai martabat insân kâmil. Oleh karena itulah, dengan bimbingan Guru Wasithah banyak murid-murid yang sudah ngetes (berproses menuju martabat insân kâmil), hingga mencapai 7,5% dari total murid Wasithah sekitar 100.000 orang, dan 17,5% lagi dalam proses ngetes. Berdasarkan survey, responden yang sudah ngetes bagaikan bagai malaikatul muqorrobûn yang rela sujud (pasrah bongkokan) kal mayyiti baena yadil ghosili (seperti mayat yang rela disucikan oleh orang yang berhak mensucikannya), yakni selalu pasrah bongkokan kepada Guru Wasithah (perkataan dan perbuatannya, ilmu dan amalnya, lahir dan batinnya). Mereka sangat tumemen (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan lakon dan pitukon (ibadah dan amal sosial) sesuai Dawuh Guru, dengan rasa-hati yang selalu mengingat-ingat dan merasa-rasakan DiriNya Ilahi Zat Tuhan Yang Al-Ghaib. Walau demikian, karena sudah mencapai tingkat ikhlas, mereka sama sekali tidak merasakan ber-mujâhadah, tidak merasakan telah berkorban. Mereka biasa-biasa saja, tidak menunjukkan sebagai orang yang sangat tumemen dalam melakukan lakon dan pitukon. Demikian juga para santri yang sedang belajar SMA dan STT POMOSDA, responden yang menjadi murid Wasithah lebih taat menjalankan peribadatan dibanding mereka yang tidak menjadi murid. Dalam shalat, misalnya saja, mereka lebih banyak shalatnya; ketika shalat ingat Zat Tuhan (sehingga shalatnya potensial khusyu` dan dapat berpengaruh untuk mencegah perbuatan keji dan munkar); selalu berzikir, wirid, berdoa tolak bala`, memohon diberi hidayahNya agar ditetapkan dalam agama yang lurus, beristighfar dan memohon pengampunan Tuhan (bagi dirinya, bagi Guru, orang tua dan leluhur, warga Syaththariah, dan bagi kaum muslimin se Dunia), dan sujud syukur (yakni mengakui dosa-dosa dan kesalahan, memohon pengampunan Tuhan, bersyukur karena hatinya dimaukan Tuhan untuk menjadi murid Wasithah dan dimaukan untuk menjalankan ajaran yang lurus). Rahasia keberhasilan pendidikan ini karena match-nya di antara unsur-unsur atau komponen-komponen pendidikan dan dibimbing oleh Guru Wasithah.

D. KESIMPULAN DAN IMPLIKASINYA
1. Kesimpulan
Pertama, Guru Wasithah mengharuskan manusia bersifat jabbari-aktif, yakni harus selalu bergantung kepada Tuhan dan pasrah bongkokan kepada Guru Wasithah, bagai malaikat muqorrobûn kal mayyiti baena yadil ghosili (seperti mayat yang rela disucikan oleh orang yang berhak memandikannya), yakni selalu bersungguh-sungguh menjalankan Dawuh Guru. Insân kâmil adalah hamba Allâh yang telah ditarik oleh fadlol (karunia) dan rahmat-Nya, karena kesungguhannya dalam menjalankan Islam kâffâh, yakni menjalankan syare’at dan hakekat dengan bimbingan Guru Wasithah hingga mencapai fana` Zat. Pada hirarki tujuh tangga nafsu, insân kâmil merupakan hamba Allâh yang telah mencapai tangga nafsu tertinggi (nafsu kamilah) sebagai buah dari kesungguhannya dalam menjalankan Dawuh Guru. Kedua, proses untuk mencapai martabat insân kâmil melalui enam tahapan, yakni: meminta di-bai’at atau di-talqin zikir kepada Guru, setia dengan sumpah dan janji, menjalankan lakon (ibadah) dan pitukon (amal sosial) sesuai Dawuh Guru (disertai hati, roh, dan rasa yang selalu mengingat-ingat Zat Tuhan Yang Al-Ghaib), menjalankan 10 dasar agama (taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal `alallâh, mulazimatu dzikr, tawajjuh ilallâhi bilkulliyati, muroqobah, dan ridlo), menghindari empat bencana amal bagai api yang memakan habis kayu kering (takabbur, ujub, riya, dan sum`ah), dan jihad akbar (melalui proses takholli, tahalli, dan tajalli).

2. Implikasi
Pendidikan dilaksanakan dengan niat li ilâ`i kalimatillâh (semata-mata menegakkan kalimat Allâh), dijalankan berdasarkan ilallâh (menuju Allâh), minallâh (dari Allâh), fî sabîlillâh (di jalan Allâh), dan lillâh (karena Allâh). Adapun tujuannya membimbing murid (orang yang berkehendak kembali kepada Allâh hingga sampai dengan selamat) untuk mencapai martabat insân kâmil. Syarat pertama dan utama untuk mencapai martabat ini haruslah ber-iman, yakni iman yang ma’rifatun wa tashdîqun. Kemudian menjalankan ibadah bi shidqin wa ikhlâshîn. Lalu bersungguh-sungguh dalam beribadahnya (mujtahidun fî ’ibâdatihi bi shidqin wa ikhlâshîn) dan menjalankan jihad akbar hingga hati sanubari (nafsu dan syahwat) benar-benar ditundukkan dijadikan tunggangannya hati nurani, roh, dan rasa.
Faktor ustad (guru, dosen) dan core curriculum atau substansi materi pendidikan umum sangat penting. Tidak bisa ditawar-tawar, ustad harus menjadi teladan (sedang berproses menuju martabat insân kâmil, telah mencapai nafsu muthmainnah, atau sekurang-kurangnya telah mencapai nafsu mulhimah). Ada pun substansi materi dipilih yang benar-benar ’inti’ dan ’kunci’, karena perintah Tuhan bersifat hirarkis; bahwa suatu perintah akan diterima oleh Tuhan jika syarat-syarat perintah itu dilaksanakan. Ujung perintah itu adalah mentaati Allâh dan RasûlNya. Tetapi karena Allâh itu Zat Yang Al-Ghaib (tidak mungkin menampakkan DiriNya di bumi milikNya), maka Allâh lalu mengangkat wakilNya/RasûlNya sebagai Al-Wasîlata atau Wasatho (Guru Wasithah), Waliyan Mursyidan (Guru Mursyid), Ahladz Dzikri, Imâmun Mubîn, Al-Hâdî, An-Nadzîr atau Mundzîr, dan Al-Bayîr (karena ia pernah kembali kepadaNya, sehingga kenal benar dengan Tuhan).
Hasil penelitian survey menunjukkan bahwa siswa dan mahasiswa yang menjadi murid Wasithah lebih tinggi ketaatan beragamanya dibanding siswa dan mahasiswa yang tidak menjadi murid Wasithah. Artinya, mereka yang menjadi murid Wasithah lebih potensial berproses menuju martabat insân kâmil dibanding mereka yang tidak menjadi murid Wasithah. Implikasi praktisnya adalah bahwa konsep insân kâmil dan model pendidikan insân kâmil yang digagas Guru Wasithah itu memang implementatif.


RIWAYAT HIDUP
Munawar Rahmat lahir di Cisaat Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat) pada 28 Januari 1958. Ia anak kedua dari 10 bersaudara, dari pasangan Muh. Saleh Zaini (wafat 1978) dan Maryam (wafat 2007). Ia menikah dengan Dra. Siti Rokhyati (lahir di Banjarnegara, 12-12-1962) pada 30 Desember 1982, dan diamanati lima anak: Fansuri Munawar, SE [UGM], MM [UPI]. (Banjarnegara, 19-10-1983), Ghifari Munawar, S.Kom [UB], M.IT [ITB] (Bandung, 12-04-1986), Raniri Munawar, S.Par [UPI] (Bandung, 06-01-1988), Muhammad Nadzeri Munawar (Bandung, 15-06-1994), dan Fethima Sabardila Munawar (Bandung, 08-04-2003).
Di waktu kecil ia dididik agama oleh ayah dan ibunya. Pada tahun 1966 masuk SD sekaligus Madrasah Diniyah PUI, sedangkan shubuh dan maghrib mengaji di masjid terdekat. Pada tahun 1968 ia mengikuti orang tuanya yang pindah rumah dan bertugas di PGAN Cipetir (Kabupaten Sukabumi), ia pun pindah sekolah ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Cipetir hingga tamat. Tahun 1972-1977 belajar di PGAN 6 Tahun, di tempat ayahnya bertugas; sedangkan malam harinya mengaji tafsir dan ilmu agama pada ayah sendiri. Tahun 1978 kuliah di Fakultas Tarbiyah UNISBA Bandung (Sarjana Muda 1981, Sarjana 1983). Pernah mengabdi di almamater sebagai dosen. Mulai tahun 1986 bekerja sebagai dosen/ PNS pada FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI, Bandung), sekaligus masuk program S2 Pendidikan Umum FPS IKIP Bandung (UPI), selesai 1989. Selesai kuliah, ia diamanati memimpin Jurusan MKDU FPIPS UPI (1990-1993). Kemudian, tahun 1993 ia masuk program S3, tetapi berhenti tahun 1994. Aktif kembali kuliah di S3 mulai Oktober 2008 hingga 2010.
Ia aktif menulis buku, 5 tahun terakhir ini: Membangun Pendidikan Islam (2008), Menyamakan Persepsi tentang Islam (2009), Pendidikan Insan Kamil di Pondok Sufi Pomosda (diangkat dari Disertasi, 2010), Filsafat dan Teosofat Akhlak (2011, sebagai Editor), Implementasi Pendidikan Akhlak dan Karakter di Sekolah dan Keluarga (2011), dan Tafsir Al-Quran Guru Mursyid: Tafsir Mursyid Sufisme Syaththariah Menyangkut Ayat ‘Inti’ dan ‘Kunci’ (2012).
Ia pernah juga menulis buku teks Pendidikan Agama Islam untuk SD, SMP, SMA; Islam untuk Remaja SMP, Islam untuk Remaja SMA; menulis naskah dan membuat skenario film pendidikan, menulis artikel di jurnal (Ta`dib – Fakultas Tarbiyah UNISBA, Dakwah – Fakultas Dakwah UNISBA, Ta`lim – Jurusan MKDU FPIPS UPI, Sosio-Religi – Jurusan MKDU FPIPS UPI, Jurnal Dikti, Jurnal Disdik Provinsi Banten, dan Alqalam – Jurnal IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten).
Ia aktif dalam kegiatan penelitian, antara lain: Studi SMA Unggulan di 5 Propinsi (2005), Corak Berpikir Keagamaan Mahasiswa Aktivis Islam (2006, 2009), Studi Kompetensi Guru MTs di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta (2007), Studi Substansi Materi dan Metode PAI pada PTU se Indonesia (2008), Studi Kompetensi Dosen dan Lembaga PAI pada PTU se Indonesia (2009), Penelitian untuk Disertasi: Insan Kamil Perspektif Ilmu Syaththariah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Umum (2008-2010), dan Pendidikan Karakter Berdasarkan Best Practice di Pondok Pesantren Al-Inayah Banten (2011).
Ia juga sebagai instruktur diklat regional dan nasional, di Dinas Pendidikan Provinsi Banten (2004 s.d. 2011, rata-rata 6 kali setiap tahunnya), di berbagai kota di Jawa Barat, dan di beberapa kota di Indonesia; juga nara sumber dalam seminar nasional di berbagai kota di Indonesia (Bandung, Solo, Malang, Bengkulu, Medan, Jambi, Banjarmasin, Palangkaraya, dan Ambon).
Di organisasi profesi turut membidani lahirnya Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia (ADPISI), menduduki jabatan Sekretaris Jenderal DPP ADPISI periode 2005-2010, dan turut membidani berdirinya ADPISI di 18 provinsi se Indonesia (Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Kalîmantan Selatan, Kalîmantan Tengah, Kalîmantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Bali, dan NTB). Kemudian tahun 2011 turut mendirikan Asosiasi Dosen dan Sarjana Pendidikan Nilai Indonesia (ADSPENSI). Di jajaran Dewan Pimpinan Pusat (DPP) terpilih sebagai Sekretaris Jenderal untuk periode 2011-2016.

PENGALAMAN DALAM PROYEK PENELITIAN
( 5 Tahun Terakhir )
Nama Proyek
Pemberi Dana
Judul Penelitian
Jabatan (Ketua/anggota)
Besar Dana Rp.
Tahun
Program Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas Nasional Bacth IV
Direktorat PPM Ditjen Dikti Depdiknas
Studi Realitas dan Ekspektasi terhadap Rasio Dosen PAI – Mahasiswa PTU, Kompetensi Dosen PAI, dan Kelembagaan PAI pada PTU di Indonesia
Ketua
100 juta
2009
Program Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas Nasional Bacth IV
Direktorat PPM Ditjen Dikti Depdiknas
Studi Realitas dan Ekspektasi terhadap Substansi Materi PAI, Metode Perkuliahan PAI, dan Bina Imtaq bagi Mahasiswa PTU di NTB, NTT, dan Bali
Anggota
100 juta
2009
Program Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas Nasional Bacth I
Direktorat PPM Ditjen Dikti Depdiknas
Corak Berfikir Agama Mahasiswa di Jawa Barat (Dari Corak Berfikir Agama yang Eksklusif Hingga Inklusif dan Liberal)
Anggota
40 juta
2008



Program Pembinaan Pend. Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum



DIPA 2007 Direktorat DIKTIS Ditjen Pend. Islam
Depag RI
  1. Studi Harapan Pimpinan dan Maha-siswa PTU Terhadap Kompetensi Dosen PAI di 16 PTU se Indonesia
Anggota





100 juta





2007
  1. Studi Harapan Pimpinan dan Maha-siswa PTU Terhadap Substansi Materi PAI di 16 PTU se Indonesia
Ketua
Program Litbang Pendidikan Agama
DIPA 2005 Puslitbang Pend.Agama dan Keagamaan Balitbang Depag RI
Studi Profil Kompe-tensi Guru Agama MTs di 10 Kota/ Kabupaten se Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta Dilihat dari Latar Belakang Biografis Guru
Anggota
165 juta
2005

PENGALAMAN PENELITIAN LAINNYA
( 5 Tahun Terakhir )
Tahun
Judul Penelitian
Jabatan
Sponsor/
Sumber Dana
2011
Studi Best Practice Pendidikan Karakter di Pesantren Salafiah Al-Inayah Kota Serang
Ketua
Sub-proyek dari Ditjen Pend. Islam Kemenag RI
2010
Implikasi Konsep Insan Kamil dalam Pendidikan Umum di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa
Promovendus
(Disertasi)
Mandiri
2008
Studi Tarekat Syaththariyah Pandangan Guru Wasithah K.H. Muhammad Munawwar Affandi Tanjunganom Nganjuk
Ketua
Yayasan Lil-Muqorrobien Cabang Bandung

KARYA TULIS ILMIAH
( 5 Tahun Terakhir )

A. JURNAL TERAKREDITASI
No.
Nama-nama Penulis
Judul Tulisan
Nama Jurnal
Kota
Bulan, Tahun
1.
Munawar Rahmat
Martabat Asy-Syaththar: Menciptakan Insan Kamil di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa Tanjunganom Nganjuk
JURNAL AL-QALAM
IAIN SMH Banten
Edisi I Tahun 2010
ISSN: 1410-3222
ISSN: 1412-0992
Serang
2010

B. JURNAL TIDAK TERAKREDITASI
No.
Nama-nama Penulis
Judul Tulisan
Nama Jurnal
Kota
Bulan, Tahun
1.
Munawar Rahmat
Peluang dan Tantangan Pen-didikan Islam di Era Global: MAN Insan Cendekia Tang-gerang dan SMA Pomosda Nganjuk sebagai Model
TA`LIM Volume 8
No. 1 Maret 2010


Bandung
1 Maret
2010
2
Munawar Rahmat
Membangun Visi-Misi UPI sebagai Universitas
Pendidikan yang Religius
TA`LIM Volume 6
No. 1 Maret 2008


Bandung
1 Maret
2008


C. BUKU
Nama-nama Penulis
Judul
Tahun Terbit
Munawar Rahmat

Tafsir Al-Quran Guru Mursyid: Tafsir Mursyid Sufisme Syaththariah Menyangkut Ayat ‘Inti’ dan ‘Kunci’

2012
Munawar Rahmat

Implementasi Pendidikan Akhlak dan Karakter di Lingkungan Sekolah dan Keluarga

2011
Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd. (Editor: Munawar Rahmat)

Filsafat dan Teosofat Akhlak

2011
Munawar Rahmat

Pendidikan Insan Kamil di Pondok Sufi Pondok Modern Sumber Daya At-Taqwa (diangkat dari Disertasi)

2010
Abdul Somad &
Munawar Rahmat

Melakukan Penelitian Tindakan Kelas Yang Mudah dan Praktis (Bahan Pelatihan PTK)

2009
Munawar Rahmat

Menyamakan Persepsi tentang Islam

2009
Munawar Rahmat

Membangun Pendidikan Islam

2008

D. PEMBICARA/PEMAKALAH DALAM SEMINAR NASIONAL DAN INTERNASIONAL

No.
Nama-nama Penulis
Judul Tulisan
Nama Seminar
Kota
Tgl, Bulan, Tahun
1.
Munawar Rahmat
Pendidikan Akhlak dan Karakter Berlandaskan Al-Quran dan Hadits Perspektif Sufisme (Tarekat) Syaththariah
SEMINAR NASIONAL: Membangun Karakter Muslim Berlandaskan Al-Quran dan Hadits
Medan
17-12-2010
2.
Munawar Rahmat
Urgensi Pendidikan Akhlak dan Karakter di Sekolah
SEMINAR NASIONAL: Urgensi Pendidikan Karakter di Abad 21
Binjai
16-12- 2010
3.
Munawar Rahmat
Pendidikan Insan Kamil Perspektif KH Muhammad Munawwar Afandi Guru Wasithah Ke-48 Ilmu (Tarekat) Syaththariah
Kongres II ADPISI dan SEMINAR NASIONAL:
Membangun Karakter Bangsa Berbasis Agama
Medan
02-10- 2010
4.
Munawar Rahmat
ARTIKEL PENELITIAN:
Studi Realitas dan Ekspektasi terhadap Rasio Dosen PAI – Mahasiswa PTU, Kompetensi Dosen PAI, dan Kelembagaan PAI pada PTU di Indonesia
Seminar Hasil Pelaksanaan Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional
Bandung
Desember, 2009
5.
Munawar Rahmat
ARTIKEL PENELITIAN:
Studi Harapan Pimpinan dan Mahasiswa PTU Terhadap Substansi Materi PAI di 16 PTU se Indonesia
Workshop Dosen Pendidikan Agama Islam di PTU
Jakarta
Oktober, 2007
6.
Shofjan T, Syahidin, Munawar Rahmat
ARTIKEL PENELITIAN:
Studi Profil Kompetensi Guru Agama MTs di 10 Kota/ Kab. se Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta Dilihat dari Latar Belakang Biografis Guru
Seminar Hasil Penelitian “Studi Ke Arah Pembakuan Standar Kompetensi Guru Agama Islam dan Guru Keagamaan MTs
Jakarta
Oktober, 2005
7.







E. PEMAKALAH
Tahun
Judul
Penyelenggara

2007
PELATIHAN NASIONAL:
Ulama dan Kualitas Umat
MUI/ DPW ADPISI
Kalimantan Tengah

2007
PELATIHAN NASIONAL:
Aplikasi Metode Pendidikan Qurani dalam Pembe-lajaran di Sekolah dan Perguruan Tinggi
DPW ADPISI Kalsel/ UNLAM, Banjarmasin

2007
SEMINAR NASIONAL:
Problem Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
DPW ADPISI Jatim/ Univ. Brawijaya
Malang

2007
WORKSHOP NASIONAL DOSEN PAI:
Substansi Materi Pendidikan Agama Islam Yang Diharapkan oleh Pimpinan dan Mahasiwa Perguruan Tinggi Umum

Direktorat DIKTIS
Ditjen Pend. Islam
Depag RI

2008
SEMINAR NASIONAL:
Islam dan Perlindungan Anak
Komite Perlindungan Anak Sumut/ USU

2008
WORKSHOP REGIONAL:
Membangun Bengkulu sebagai Kota Pelajar
PEMDA
Kota Bengkulu

2008
SEMINAR NASIONAL:
Peningkatan Kualitas Pendidikan (Agama, Moralitas, Kecerdasan, dan Life Skills) di Sekolah
DPW ADPISI Maluku/ IAIN Ambon

2008

SEMINAR NASIONAL:                                            Satu abad kebangkitan nasional: Peluang dan Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Jurusan MKDU FPIPS UPI - Sekretariat Negara RI

2009
PELATIHAN NASIONAL:
PTK dan Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Sekolah dan Universits
DPW ADPISI Jambi/ Universitas Jambi

2009
WORKSHOP REGIONAL:
Konsep Sertifikasi Guru dan Implikasinya bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan
Dinas Pendidikan Provinsi Banten

2-10-2010
SEMINAR NASIONAL DOSEN PAI:
Konsep Insan Kamil dan Manusia Sesat Perspektif
KH Muhammad Munawwar Afandi Guru Wasithah
Ilmu Syaththariah Tanjunganom Nganjuk
DPP ADPISI – Direktorat Diktis Kementerian Agama RI, di Medan
17-12-2010
SEMINAR NASIONAL:
Pendidikan Karakter Berbasis Agama
STKIP Binjai, Sumatera Utara

18-12-2010
SEMINAR NASIONAL:
Pendidikan Akhlak dan Karakter Perspektif Sufisme (Tarekat) Syaththariah
Universitas Pembangunan Budi Luhur, Medan